28 November 2014

OTONOMI DAERAH (MAKALAH)

OTONOMI DAERAH
Di Susun Guna Memenuhi Tugas  Mata Kuliah PPKN




DISUSUN OLEH :

SINGGIH PRABOWO AJI   (20120720034)
M. ZAKKY AFANDI            (20120720045)
NASRUDIN                        (20120720089)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA




OTONOMI DAERAH

A.   PENDAHULUAN

1.  Latar Belakang
Di Indonesia, otonomi daerah mulai bergulir sejak keluarnya UU No.1 Tahun 1945, kemudian UU No.2 Tahun 1948 dan UU No.5 Tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintahan di daerah. Semuanya berupaya menciptakan pemerintahan yang cenderung ke arah desentralisasi. Namun pelaksanaannya mengalami pasang surut, sampai masa reformasi bergulir.
Prinsip otonomi daerah adalah pemerintahan daerah diberi wewenang untuk mengelola daerahnya sendiri. Hanya saja pada beberapa bidang yang tetap ditangani pemerintah pusat, yaitu agama, peradilan, pertahanan, dan keamanan moneter/fiscal, politik luar negri dan dalam negri serta sejumlah kewenangan bidang lain (meliputi perencanaan nasional dan pengadilan pembangunan secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi Negara dan lembaga perekonomian Negara, pembinaan sumber daya manusia, pendaya gunaan sumber daya alam serta teknologi tinggi yang strategis dan konversi serta standarisasi nasional).

2.  Rumusan Maslah

a.  Apakah Hakikat Otonomi Daerah Itu?
b.  Apa Visi Otonomi Daerah?
c.  Bagaimana Sejarah Otonomi Daerah Di Indonesia?
d.  Apa Sajakah Prinsip-prinsip Pelaksanaan Otonomi Daerah?
e.  Bagaimana Proses Pembagian Kekuasaan Antara Pusat dan Daerah Dalam UU No.22 Tahun 1999?

3.  Tujuan Makalah

Tujuan penulisan makalah ini adalah:

a.    Untuk mengetahui hakekat otonomi daerah.
b.    Untuk mengetahui visi otonomi daerah.
c.    Untuk menjelaskan sejarah otonomi daerah.
d.    Untuk mengetahui prinsip-prinsip otonomi daerah.
e.    Untuk menjelaskan kekusasaan antara pusat dan daerah dalam UU No.22 Tahun 1999

B. PEMBAHASAN

1.    Arti Otonomi Daerah

          Istilah otonomi daerah dan desentralisasi dalam konteks bahasa sistem penyelenggaraan pemerintahan sering digunakan secara campur aduk (interchangeably). Kedua istilah tersebut secara akademik bisa dibedakan, namun secara praktis dalam penyelenggaraan pemerintahan tidak dapat dipisahkan. Karena itu tidak mungkin masalah otonomi daerah dibahas tanpa mempersandingkannya dengan konsep desentralisasi. Bahkan menurut banyak kalangan otonomi daerah adalah desentralisasi itu sendiri. Tak heran misalnya dalam buku-buku referensi, termasuk di sini, pembahasan otonomi daerah diulas dengan memakai istilah desentralisasi. Kedua istilah tersebut bagaikan dua mata koin yang saling menyatu namun dapat dibedakan. Di mana desentralisasi pada dasarnya mempersoalkan pembagian kewenangan kepada organ-organ penyelenggara negara, sedangkan otonomi menyangkut hak yang mengikuti pembagian wewenang tersebut.
          Konsep desentralisasi sering di bahas dalam konteks pembahasan mengenai penyelenggaraan sistem pemerintahan dan pembangunan. Pada masa sekarang, hampir setiap negara bangsa (nation state) menganut desentralisasi sebagai suatu asas dalam penyelenggaraan pemerintahan negara. Desentralisasi bukan merupakan sistem yang berdiri sendiri melainkan merupakan rangkaian kesatuan dari suatu sistem yang lebih besar. Suatu negara bangsa menganut desentralisasi bukan karena alternatif dari sentralisasi. Antara desentralisasi dan sentralisasi tidak dilawankan, dan karenanya tidak bersifat dikotomis, melainkan merupakan sub-sub sistem dalam kerangka sistem organisasi negara. Karenanya, suatu negara bangsa merupakan payung desentralisasi dan sentralisasi.
          Berbagai definisi tentang desentralisasi dan otonomi daerah telah banyak dikemukakan oleh para pakar sebagai bahan perbandingan dan bahasan dalam upaya menemukan pengertian yang mendasar tentang pelaksanaan otonomi daerah sebagai manifesatasi desentralisasi. Otonomi dalam makan sempit dapat diartikan sebagai ‘mandiri’. Sedangkan dalam makna yang lebih luas diartikan sebagai ‘berdaya’. Otonomi daerah dengan demikian berarti kemandirian suatu daerah dalam kaitan pembuatan dan pengambilan keputusan mengenai kepentingan daerahnya sendiri. Jika daerah sudah mampu mencapai kondisi tersebut maka daerah dapat dikatakan sudah berdaya untuk melakukan apa saja secara madiri tanpa tekanan dari luar (external intervention).
          Jadi desentralisasi adalah pelimpahan kewenangan dari tanggung jawab dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah.                                                  

2.    Arti Penting Otonomi Daerah-Desentralisasi

          Memasuki abad ke-21, Indonesia tampaknya harus berangkat dalam kondisi yang kurang menguntungkan. Krisis ekonomi dan politik yang melanda Indonesia sejak 1997 telah memporak-porandakan hampir seluruh sendi-sendi ekonomi dan politik negeri ini yang telah dibangun cukup lama.  Lebih jauh lagi, krisis ekonomi dan politik yang berlanjut menjadi multikrisis telah mengakibatkan semakin rendahnya tingkat kemampuan dan kapasitas negara dalam menajmin kesinambungan pembangunan. Krisis tersebut salah satunya diakibatkan oleh sistem manajemen negara dan pemerintahan yang sentralistik, di mana kewenangan dan pengelolaan segala sektor pembangunan berada dalam kewenangan pemerintah pusat, sementara daerah tidak memiliki kewenangan untuk mengelola dan mengatur daerahnya.
          Sebagai respon dari krisis tersebut, pada masa reformasi dicanangkan suatu kebijakan restrukturisasi sistem pemerintahan yang cukup penting yaitu melaksanakan otonomi daerah dan pengaturan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah. Paradigma lama dalam manajemen negara dan pemerintahan yang berporos pada sentralisme kekuasaan diganti menjadi kebijakan otonomi yang berpusat pada desentralisme. Dalam pada itu, kebijakan otonomi daerah tidak dapat dilepaskan dari upaya politik Pemerintah Pusat untuk merespon tuntunan kemerdekaan atau negara federal dari berbagai wilayah yang memiliki aset sumber daya alam melimpah namun tidak mendapatkan haknya secara proposional pada masa pemerintahan Orde Baru.
Desentralisasi danggap dapat menjawab tuntunan pemerataan, pembangunan sosial ekonomi, penyelenggaraan ekonomi, penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan kehidupan berpolitik yang efektif. Sebab desentralisasi menjamin penanganan tuntutan masyarakat secara variatif dan cepat. Ada beberapa alasan mengapa kebutuhan terhadap desentralisasi di Indonesia saat ini dirasakan sangat mendesak. Pertama, kehidupan berbangsa dan bernegara selama ini sangat terpusat di Jakarta (Jakarta centris). Sementara itu, pembangunan di berbagai wilayah lain dilalaikan. Kedua, pembagian kekayaan secara tidak adil dan merata. Daerah-daerah yang memiliki sumber kekayaan alam melimpah, seperti Aceh, Riau, Irian Jaya (Papua), Kalimantan, dan Sulawesi ternyata tidak menerima perolehan dana yang patut dari pemerintah pusat. Ketiga, kesenjangan sosial (dalam makna seluas-luasnya) antara satu daerah dengan daerah lain sangat terasa. Pembangunan fisik di satu daerah berkembang pesat sekali, sedangkan pembangunan di banyak daerah masih lamban dan bahkan terbengkalai.
          Sementara itu ada alasan lain yang didasarkan pada kondisi ideal, sekaligus memberikan landasan filosofis bagi penyelenggaraan pemerintahan daerah (desentralisasi)  sebagaimana dinyatakan oleh The Liang Gie sebagai berikut (Jose Riwu Kaho, 2001, h.8):

a.       Dilihat dari sudut politik sebagai permainan kekuasaan, desentralisasi dimaksudkan untuk mencegah penumpukan kekuasaan pada satu pihak saja yang pada akhirnya dapat menimbulkan tirani.
b.      Dalam bidang politik, penyelenggaraan desentralisasi dianggap sebagai tindakan pendemokrasian, untuk menarik rakyat ikut serta dalam pemerintahan dan melatih diri dalam mempergunakan hak-hak demokrasi.
c.       Dari sudut teknik organosatoris pemerintahan, alasan mengadakan pemerintahan daerah (desentralisasi) adalah semata-mata untuk mencapai suatu pemerintahan yang efisien. Apa yang dianggap lebih utama untuk diurus oleh pemerintah setempat, pengurusannya diserahkan kepada daearah.
d.      Dari sudut kultur, desentralisai perlu diadakan supaya adanya perhatian dapat sepenuhnya ditumpukan kepada kekhususan  sesuatu daerah, seperti geografi, keadaan penduduk, kegiatan ekonomi, watak kebudayaan atau latar belakang sejarahnya.
e.       Dari sudut kepentingan pembangunan ekonomi, desentralisasi diperlukan karena pemerintah daerah dapat lebih banyak dan secara langsung membantu pembangunan tersebut.

                        Pilihan terhadap desentralisasi haruslah dilandasi argumentasi baik secara teoritik ataupun empirik. Kalangan teoritisi pemerintahan dan politik mengajukan sejumlah argumen yang menajadi dasar atas pilihan tersebut sehingga dapat dipertanggungjawabkan baik secara empirik ataupun normatif-teoritik. Di antara berbagai argumentasi dalam memilih desentralisasi-otonomi (Syaukani, et.al., 2002, h. 20-30), yaitu:

1)      Untuk terciptanya efisiensi-efektivitas penyelenggaraan pemerintahan.
Pemerintah berfungsi mengelola berbagai dimensi kehidupan seperti bidang sosial, kesejahteraan masyarakat, ekonomi, keuangan, politik, integrasi sosial, pertahanan, keamanan dalam negeri, dan lain-lainnya. Selain itu juga mempunyai fungsi distributif akan hal-hal yang telah diungkapkan, fungsi regulatif baik yang menyangkut penyedian barang dan jasa ataupun yang berhubungan dengan kompetensi dalam rangka penyediaan tersebut, dan fungsi ekstraktif yaitu memobilisasi sumber daya keuangan dalam rangka membiayai aktifitas penyelenggaraan negara
2)      Sebagai sarana pendidikan politik.
Banyak kalangan ilmuwan politik berargumentasi bahwa pemerintah daerah merupakan kancah pelatihan (training ground) dan pengembangan demokrasi dalam sebuah negara. Alexis de ‘Tocqueville mencatat bahwa “town meetings are to liberty what primary schools are to science: they bring it within the people reach, they teach men how to use and how to enjoy it”. John Stuart Mill dalam tulisannya “Representative Government” menyatakan bahwa pemerintahan daerah akan menyediakan kesempatan bagi warga masyarakat untuk berpartisipasi politik, baik dalam rangka memilih atau kemungkinan untuk dipilih dalam suatu jabatan politik. Meraka yang tidak mempunyai peluang untuk terlibat dalam politik nasional dan memilih pemimpin nasional, akan mempunyai peluang untuk ikut serta dalam politik lokal, baik dalam pemilihan umum lokal ataupun dalam rangka pembuatan kebijakan publik. Dengan demikian,  pendidikan politik pada tingkat lokal sangat bermanfaat bagi warga masyarakat untuk menentukan pilihan politiknya.
3)      Pemerintah dearah sebagai persiapan untuk karir politik lanjutan.
Banyak kalangan ilmuwan politik sepakat bahwa pemerintah daearah merupakan langkah persiapan untuk meniti karier lanjutan, terutamam karir di bidang politik dan pemerintahan di tingkat nasional. Adalah sesuatu hal yang mustahil bagi seseorang untuk muncul dengan begitu saja menjadi politisi berkaliber nasional atau pun internasional.
4)      Stabilitas Politik.
Sharpe berargumentasi bahwa stabilitas politik nasional menstinya berawal dari stabilitas politik pada tingkat lokal. Terjadinya pergolakan daerah pada tahun 1957-1958 dengan puncaknya adalah kelahiran dari PRRI dan PERMESTA, karena daerah melihat kenyataan kekuasaan pemerintah Jakarta yang sangat dominan. Demikian pula yang terjadi di Philipina, yamh mengakibatkan masyarakat Muslim di Mindanao berjuang untuk melepaskan diri dari pemerintahan di Manila. Hal yang sama dapat diketemukan di Thailand. Warga Muslim di Daerah Selatan yang dikenal sebagai masyarakat Patani juga berjuang melawan pemerintahan nasional di Bangkok, karena mereka menganggap bahwa Bangkok tidak memperlakukan mereka dengan baik.
5)      Kesetaraan politik (political equality).
Dengan dibentuknya pemerintahan daerah maka kesetaraan politik di antara berbagai komponen masyarakat akan terwujud. Mengapa demikian? Masyarakat di tingkat lokal, sebagaimana halnya dengan masyarakat di pusat pemerintahan, akan mempunyai kesempatan untuk terlibat dalam politik, apakah itu dengan melalui pemberian suara pada waktu pemilihan Kepala Desa, Bupati, Wali Kota, dan bahkan Gubernur. Di samping itu warga masyarakat baik secara sendiri-sendiri ataupun secara berkelompok akan ikut terlibat dalam mempengaruhi pemerintahannya untuk membuat kebijakan, terutama yang menyangkut kepentingan mereka.
6)      Akuntabilitas publik.
Demokrasi memberikan ruang dan peluang kepada masyarakat, termasuk di daerah, untuk berpartisipasi dalam segala bentuk kegiatan penyelenggaraan negara. Keterlibatan ini sangat dimungkinkan sejak dari awal tahap pengambilan keputusan sampai dengan evaluasi. Dengan demikian maka kebijakan yang dibuat akan dapat diawasi secara langsung dan dapat dipertanggungjawabkan karena masyarakat terlibat secara langsung dalam penyelenggaraan pemerintahan.

3.    Visi Otonomi Daerah

Visi Desentralisasi merupakan simbol adanya trust (kepercayaan) dari Pemerintah Pusat Kepada Daerah. Ini dengan sendirinya mengembalikan harga diri pemerintah dan masyarakat daerah. Kalau dalam sistem sentralistik mereka tidak bisa berbuat banyak dalam mengatasi berbagai masalah, dari sistem ini mereka ditantang untuk secara kreatif menemukan solusi-solusi dari berbagai masalah yang dihadapai. Sekarang, dengan berlakunya UU No. 22/1999 dan UU No. 25/1999, kewenangan itu didesentralisasikan  ke daerah. Artinya pemerintah dan masyarakat di daerah dipersilahkan mengurus rumah tangganya sendiri secara bertangung jawab. Pemerintah pusat  tidak lagi mendominasi. Peran pemerintah pusat dalam konteks desentralisasi  ini adalah melakukan supervise, memantau, mengawasi, dan mengevaluasi pelaksanaan otonomi daerah. Peran ini tidak ringan, tetapi juga tidak membebani daerah secara berlebihan. Karena itu, dalam rangka otonomi daerah diperlukan kombinasi yang efektif antara visi dan kepemimpinan yang kuat dari pemerintah pusat dengan keluasaan berprakarsa dan berkreasi dari pemerintah daerah.
Visi otonomi daerah ini dapat dirumuskan dalam tiga ruang lingkup interaksinyayang utama : politik, ekonoimi, serta sosial dan budaya (Syaukani, et. al, 2002, h. 172-176) Di bidang politik, karena otonomi adalah buah dari kebijakan desentralisasi dan demokrasi, maka ia harus dipahami sebagai sebuah proses untuk membuka ruang bagi lahirnya kepala pemerintahan daerah yang dipilih secara demokratis, memungkinkan berlangsungnya penyelenggaraan pemerintah yang responsive terhadap kepentingan masyarakat luas dan memelihara suatu mekanisme pengambilan keputusan yang taat pada asas pertanggung jawaban publik.
Di bidang ekonomi, otonomi daerah disatu pihak harus menjamin lancarnya pelaksanaan kebijakan ekonomi nasional di daerah, dan di pihak lain terbukanya peluang bagi pemerintah daerah mengembangkan kebijakan regional dan lokal untuk mengoptimalkan pendayagunaan potensi ekonomi di daerahnya. Dalam konteks ini, otonomi daerah akan memungkinkan lahirnya berbagai prakarsa pemerintah daerah untuk mennawarkan fasilitas inventasi, memudahkan proses perizinan usaha, dan membangun berbagai infrastruktur yang menunjang perputararn ekonomi di daerah. Dengan demikian, otonomi daerah akan membawa masyarakat ke tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi dari waktu ke waktu.
Di bidang sosial dan budaya otonom daerah harus dikelola sebaik mungkin demi menciptakan dan memelihara harmoni sosial, dan pada saat yang sama, memelihara nilai - nilai lokal yang dipandang kondusif dalam menciptakan kemampuan masyarakat untuk merespon dinamika kehidupan di sekitarnya.
Berdasarkan misi ini, maka konsep otonomi daerah yang kemudian melandasi lahirnya UU No. 22 tahun 1999 dan UU No. 25 tahun 1999, merangkum hal - hal berikut ini:
a.       Penyerahan sebanyak mungkin kewenangan pemerintahan dalam hubungan domestik kepada daerah. Kecuali untuk bidang keuangan dan moneter, politik luar negeri, peradilan, pertahanan, keagamaan, serta beberapa bidang kebijakan pemerintahan yang bersifat strategis nasional, maka pada dasarnya semua bidang pemerintahan yang lain dapat didesentralisasikan.
b.      Penguatan peran DPRD sebagai representasi rakyat lokal dalam pemilihan dan penetapan kepala daerah. Kewenangan DPRD dalam menilai keberhasilan atau kegagalan kepemimpinan kepala daerah harus dipertegas. Pemberdayaan fungsi - fungsi DPRD dalam bidang legislasi, representasi, dan penyalur aspirasi masyarakat harus dilakukan. Untuk itu, optimalisasi hak-hak DPRD perlu diwujudkan, seraya menambah alokasi anggaran untuk biaya operasinya.
c.       Pembangunan tradisi politik yang lebih sesuai dengan kultur demokrasi demi menjamin tampilanya kepemimpinan pemerintahan yang berkualifikasi tinggi dengan tingkat akseptabilitas yang tinggi pula.
d.      Peningkatan efektifitas fungsi-fungsi pelayanan eksekutif melalui pembenahan organisasi dan institusi yang dimiliki agar lebih sesuai dengan ruang lingkup kewengan yang telah di desentralisasikan, setara dengan beban tugas yang dipikul, selaras dengan kondisi daerah, serta lebih responsive terhadap kebutuhan daerah
e.       Peningkatan efisiensi administrasi keuangan daerah serta pengaturan yang lebih jelas atas sumber - sumber pendapatan negara dan daerah, pembagian revenue (pendapatan) dari sumber penerimaan yang berkait dengan kekayaan alam, pajak dan retribusi, serta tata cara dan syarat untuk pinjaman dan obligasi daerah.
f.       Perwujudan desentralisasi fiscal dari pemerintah pusat yang bersifat alokasi subsidi berbentuk blok gram, pengaturan pembagian sumber-sumber pendapatan daerah, pemberian keleluasaan kepada daerah untuk menentapkan prioritas pembangunan, serta optimalisasi upaya pemberdayaan masyarakat melalui lembaga - lembaga swadaya pembangunan yang ada.

Rondinelli membedakan empat bentuk desentralisasi yaitu :

1)   Dekonsentrasi
Dekonsentrasi adalah pembagian kewenangan dan tanggung jawab administratif antara departemen pusat dengan pejabat pusat dilapangan tanpa adanya penyerahan kewenangan unutk mengambil keputusan atau keleluasaan untuk membuat keputusan.
2)   Delegasi
Adalah pelimpahan pengambilan keputusan dan kewenangan manajerial untuk melakukan tugas tugas khusus kepada suatu organisasi yang tidak secara langsung berada di bawah pengawasan pemerintah  pusat.
3)   Devolusi
Adalah transfer kewenangan untuk pengambilan keputusan, keuangan dan menajemen kepada unit otonomi pemerintah daerah.

Bentuk devolusi memiliki 5 karakteristik:
a.    Unit pemerintahan bersifat otonom, mandiri dan secara tegas terpisah dari tingkatan tingkatan pemerintahan, pemerintah pusat tidak melakukan pengawasan langung terhadapnya.
b.    Unit pemerintaha lokal diakui mempunyai batas batas wilayah yang jelas dan legal yang mepunyai wewwnang untuk melakukan tugas tugas umum pemerintahan.
c.    Unti pemerintah daerah berstatus sebagai badan hukum dan berwenang untuk mengelola dan memanfaakan sumber sumber daya untuk mendukung pelaksanaantugasnya.
d.   Unit pemerinthan daerah diakui oleh warganya sebagai suatu lembaga yang memberikan pelayanan kepada masyarakat dan memenuhi kebutuhan meraka.
e.    Terdapat hubungan yang saling menguntungkan melalui koordinasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta unit unit organisasi lainnya dalam suatu sistem pemerintahan.
4)   Privatisasi
Tindakan pemberian kewenangan dari pemerintah kapada badan badan sukarela , swasta dan swadaya masyaraka, teapi bisa juga merupaka peleburan badan badan pemerintah menjadi badan usaha swasta. Misalnya, BUMN dan BUMD dilebur menjadi PT. Dalam hal sosial pemerintah memberikan kewenangan dan tanggung jwab kepada lembaga swadaya masyarakat (LSM) dalam hal seperti membina kesejahteraan keluarga, koperasi petani dan koperasi nelayan untulk memberikan kegiatan kegiatan sosial untuk meningkatkan peran serta pemberdayaan masyarakat.

4.    Sejarah Otonomi Daerah Di Indonesia

Peraturan perundang-undangan pertama kali yang mengatur tentang pemerintahan daerah pasca proklamasi kemerdekaan adalah UU Nomor  1 tahun 1945. Ditetapkannya undang-undang ini hasil (resultante) dari berbagai pertimbangan tentang sejarah pemerintahan di masa kerajaan-kerajaan serta pada masa pemerintahan kolonialisme. Undang-undang ini menekankan pada aspek cita-cita kedaulatan rakyat melalui pengaturan pembentukan Badan Perwakilan Rakyat Daerah. Didalam Undang-undang ini ditetapkan 3 (tiga) jenis daerah otonom, yaitu karesidenan, kabupaten, dan kota.
Perjalanan otonomi daerah di Indonesia selalu ditandai dengan lahirnya suatu produk perundang-undangan yang menggatikan produk sebelumnya. Perubahan tersebut pada satu sisi menandai dinamika orientasi pembangunan daerah di Indonesia dari masa ke masa. Tapi di sisi lain hal ini dapat pula dipahami sebagai bagian dari “eksperimen politik” penguasa dalam menjalankan kekuasaanya.

5.    Prinsip-Prinsip Otonomi Daerah Dalam Uu No. 22 Tahun 1999

Prinsip-prinsippemberian otonomi daerah yang dijadikan pedoman dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagaimana terdapat dalam UU No. 22 Tahun 1999 adalah (Nur Rif’ah Masykur, peny., 2001, h. 21):

1.      Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan, serta potensi dan keanekaragaman daerah.
2.      Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan pada otonomi luas,nyata, dan bertanggungjawab.
3.      Pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuh diletakkan di daerah kabupaten dan daerah kota, sedangkan pada daerah propinsi merupakan otonomi yang terbatas.
4.      Pelaksanaan otonomi daerah harus sesuai dengan konstitusi Negara sehingga tetap terjamin hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar-daerah.
5.      Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan kemandirian daerah otonom, dan karenanya dalam daerah kabupaten dan kota tidak ada lagi wilayah administrasi.
6.      Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan legislatif daerah, baik fungsi legilasi, fungsi pengawasan maupun fungsi anggaran atas penyelenggaraan pemerintahan daerah.
7.      Pelaksanaan asas demokrasi diletakkan pada daerah propinsi dalam kedudukannya sebagai wilayah administrasi untuk melaksanakan kewenangan pemerintahan tertentu yang dilimpahkan kepada Gubernur sebagai Wakil Pemerintah.
8.      Pelaksanaan asas tugas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari pemerintah Kepala Daerah, tetapi juga dari pemerintah dan daerah dalam desa yang disertai dengan pembiyayaan, saran dan prasarana, serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan mempetanggungjawabkan kepada yang menugaskan.

6.    Pembagian Kekusaan Antara Pusat Dan Daerah Dalam Uu No. 22 Tahun 1999

Pembagiaan kekuasaan antara Pusat dan Daerah dilakukan berdasarkan prinsip Negara kesatuan tetapi dengan semangat federalism. Jenis kekuasaan Pemerintah hamper sama dengan yang ditangani oleh pemerintah di Negara federal, yaitu hubungan luar negeri, pertahanan dan keamanan, peradilan, moneter, dan agama, serta berbagai jenis urusan yang memegang lebih efesien di tangani secara sentral oleh pemerintah pusat, seperti kebijakan makro ekonomi, standarisasi nasional, administrasi pemerintahan, badan usaha milik Negara, dan pengembangan sumber daya manusia. Semua jenis kekuasaan yang ditangani pemerintah pusat disebitkan secra spesifik dalam UU tersebut.
Di samping itu otonomi seluas-luasnya (keleluasaan otonomi) juga mencakup kewenangan yang utuh dan bulat dalam penyelenggaraannya melalui perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian, dan evaluasi. Kewenangan yang diserahkan kepada daerah otonom yang dalam rangka desentralisasi harus pula disertai penyerahan dan pengalihan pembiyaan, sarana dan prasarana, dan sumber daya manusia. Kewenangan yang diserahkan kepada Daerah Otonom Propinsi dalam rangka desentralisasi mencakup:

a. Kewenangan yang bersifat lintas Kabupaten dan Kota, seperti kewenangan dalam bidang pekerjaan umum, perhubungan, kehutanan, dan perkebunan;
b. Kewenangan pemerintahan lainya, yaitu perencanaan dan pengendaliaan pembangunan regional secara makro, pelatihan bidang alokasi sumber daya manusia potensial, pelatihan yang mencakup wilayah Propinsi, pengelolaan pelabuahan regional, pengendaliaan lingkungan hidup, promosi dagang dan budaya/pariwisata, penanganan penyakit menular, dan perencanaan tata ruang propinsi;
c. Kewenangan kelautan yang meliputi eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut, pengaturan kepentingan administrative, pengaturan tata ruang, penegakan hokum, dan bantuan penegakan keamanan dan kedaulatan Negara; dan
d. Kewenangan yang tidak atau belum dapat di tanggapi daerah kabupaten dan daerah kota dan diserahkan kepada propinsi dengan pernyataan dari Daerah Otonom Kabupaten atau Kota tersebut.
Dalam rangka Negara kesatuan, pemerintah pusat memiliki kewenangan melakukan pengawasan terhadap daerah otonom. Tetapi pengawasan yang dilakukan pemerintah pusat terhadap daerah otonom diimbangi dengan kewenangan daerah otonom yang lebih besar, atau sebaliknya, sehingga terjadi semacam keseimbangan kekuasaan.
Pemerintah pusat dan daerah otonom harus patuh kepada keputusan MA. Terdapat 11 jenis kewenangan wajib yang diserahkan kepada Daerah Otonom Kabupaten dan Daerah Otonom Kota, yaitu:
1. Pertahanan,
2. Pertanian,
3. Pendidikan dan Kebudayaan,
4. Tenaga kerja,
5. Kesehatan,
6. Lingkungan hidup,
7. Pekerjaan umum,
8. Perhubungan,
9. Perdagangan dan industry,
10. Penanaman modal, dan
11. Koperasi.
Namun bila diperhatikan secara seksama, maka kesebelas jenis kewenangan itu termasuk kategori pelanyanan publik baik berupa infrastruktur, seperti pekerjaan umum dan perhubungan maupun kebutuhan dasar seperti pertahanan, kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan, dan lingkungan hidup; baik yang menyangkut penyiapan tenaga kerja, seperti pendidikan, tenaga kerja dan kesehatan maupun penciptaan keselamatan kerja, seperti pertanian, koprasi, perdagangan, dan industry, dan penanaman modal.

Penyerahan kesebelas jenis kewenangan ini kepada daerah otonom kabupaten dan daerah otonom kota dilandasi oleh sejumlah pemikiran berikut:

Pertama, makin dekat produsen dan distributor pelanyan public dengan warga masyarakat yang dilayani, semakin tepat sasaran, merata, berkualitas dan terjangkau pelanyana publik tersebut. Hal ini disebabkan karena DPRD dan Pemda sebagai produsen dan distributor pelanyanan publik dinilai lebih memahami aspirasi warga daerah, lebih mengetahui kemampuan warga daerah, lebih mengetahui potensi dan kendala daerah, dan lebih mampu mengendalikan penyelenggaraan pelayanan publik yang berlingkup lokal daripada Propinsi dan Pusat.
Kedua, penyerahan 11 jenis itu kepada daerah otonom kabupaten dan daerah otonom kota akan membuka peluang dan kesempatan bagi aktor-aktor politik lokal dan sumber daya manusia yng berkualitas di daerah untuk mengajukan prakarsa, beraktivitas, dan melakukan inovasi karena kewenangan merencanakan, membahas, memutuskan, melaksanakan, mengevaluasi, dan akuntabilitas mengenai 11 jenis kewenangan itu berada pada para aktor politik lokal dan sumber daya manusia lokal yang berkualitas.
Ketiga, karena distribusi sumber daya manusia yang berkualitas tidak merata, dan kebanyakan berada di Jakarta dan kota besar lainya, maka penyerahan 11 jenis kewenangan ini juga dimaksudkan agar sumber daya manusia yang berkualitas di kota-kota besar direstribusikan dari Jakarta ke daerah otonom Kabupaten dan Kota.
Keempat, pengangguran dan kemiskinan sudah menjadi masalah nasional yang tidak saja hanya dipikiul kepada penerintah pusat semata. Akan tetapi dengan adanya pelimpahan kewenangan tersebut, diharapkan terjadi diseminasi kepedulian dan tanggung jawab untuk meminimalisir atau bahkan menghilangkan masalah tersebut sebagaiman dimaksudkan dalam tujuan awal otonomi daerah.

7.    Otonomi Daerah Dan Demokratisasi

Eksistensi kebijakan otonomi daerah sangat penting dipahami sebagai bagian dari agenda demokratisasi kehidupan bangsa. Dengan kata lain, kebijakan otonomi daerah tidak boleh dipandang sebagai a final destination melainkan lebih sebagai mekanisme dalam menciptakan demokratisasi penyelenggaraan pemerintah. Oleh karenanya dapat dimengerti apabila Mawhood kemudian merumuskan tujuan utama otonomi daerah sebagai upaya untuk mewujudkan political equality, local accountability, dan local responsiveness. Di antara persaratan yang harus dipenuhi untuk mencapai tujuan tersebut adalah pemerintah daerah harus memiliki teritorial kekuasaan yang jelas (legal territorial of power); memiliki pendapatan daerah sendiri (local own income); memiliki badan perwakilan (local representative body) yang mempu mengontrol eksekutif daerah; dan adanya kepala daerah yang dipilih sendiri oleh masyarakat daerah melalui pemilu (local leader executive by election).
Dengan rumusan dan tujuan otonomi daerah semacam ini, keberadaan kebijakan otonomi daerah akan mampu menciptakan sistem pemerintahan yang demokratis. Argumen dasranya adalah, denagn konsep tersebut di asumsukan masyarakat akan memiliki akses yang lebih besar dalam mengontrol penyelenggaraan pemerintahan di daerah.

8.  Kasus

Beberapa kasus muncul di Papua sebagai akibat kesalahan dalam pelaksanaan Otonomi Daerah, antara lain kasus Freeport dan Organisasi Papua Merdeka (OPM). Kasus Freeport adalah kasus mengenai suatu perusahaan tambang yang sudah sekian lama mengeruk kekayaan alam Papua, namun tidak berimbas baik bagi penduduk pribumi Papau, justru kehadiran PT. Freeport merugikan penduduk pribumi. Sehingga  penduduk pribumi Papua ingin lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dan membentuk negara sendiri.Sebagai akibat dari rasa ketidakpuasan atau kekecewaan mendapatkan perilaku yang tidak adil, bagaimana tanggapan anda, apakah Papua berhak untuk membentuk Negara nya dan bagaimana peran pemerintah dalam menghadapi masalah ini?

Ada beberapa langkah-langkah yang digunakan untuk menyelesaikan kasus diatas:
a. Kelas dibuat menjadi beberapa kelompok.
b. Mahasiswa diberi waktu 5 menit untuk mendiskusikan kasus tersebut.
c. Mahasiswa mempresentasikan hasil diskusi tersebut, dengan sistem debat dan diatur oleh seorang moderator.

9. Kesimpulan kasus
     Dari beberapa kelompok berhak untuk mempertahankan fahamnya masing-masing dengan argumen yang dibenarkan undang-undang.

C. PENUTUPAN
1.      Kesimpulan
a.    Otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untukmengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dan daerah otonom mempunyai kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu.
b.    Otonomi daerah juga mempunyai tujuan yaitu membebaskan pemerintah pusat dari beban-beban yang tidak perlu dalam menangani urusan daerah.
2.      Saran
a.    Harus ada lembaga-lembaga atau organisasi yang mempu menampung semua aspirasi rakyat serta adanya kesadaran diri dari masyarakat itu sendiri.
b.    Pemerintah pusat tetap harus mengatur dan menjalankan urusan di beberapa sektor di tingkat kabupaten dan menjamin bahwa pemerintah lokal mempunyai kapasitas dan mekanisme bagi pengaturan hokum tambahan atas bidang-bidang tertentu.
c.    Perlu adanya pengawasan yang baik di lakukan oleh pemerintah pusat di setiap kabupaten.


NASRUDIN
SINGGIH
JAKI AFANDI
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Rozali, Pelaksanaan Otonomi Luas, Jakarta: Rajawali, 2001.
Guruh, Syahda, Menimbang Otonomi vs Federal, Bandung: Rosdakarya, 2000.
Koswara, E., Otonomi Daerah Untuk Demokrasi dan Kemandirian Rakyat, Jakarta: Yayasan Fariba, 2001.
MacAndrews, Cohin and Ichlasu Amal, Hubungan Pusat Daerah dan Pembangunan, Jakarta: Rajawali, 2001.
Masykur, Nur Rif’ah (penyusun), Peluang dan Tantangan Otonomi Daerah, Jakarta: PT. Permata Artistika Kreasi, 2001.
Rondimelli, Dennis A. dan Cheema G. Shabir, Decentralization and Development, Policy Implementation in Developing Coutries, California: SAGE Publications Inc., Beverly Hills, 1988.
Smith, Brian C., Decentralization, The Territorial Dimension of State, London: Goerge Allen Unwin, 1985.
Surbakti, Ramlan, Otonomi Daerah Seluas-luasnya dan Faktor Pendukungnya, Jakarta, 2001.
Widjaja, AW, Titik Berat Otonomi pada Daerah Tingkat II, Jakarta: Rajawali, 2001.
Yudhoyono, Bambang, Otonomi Daerah, Jakarta: Sinar Harapan, 2001.
UU No. 22 tahun 1999 tetnatng Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
UU No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemarintah Pusat dan Daerah

UU No. 5 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ucapkan Salam