OTONOMI DAERAH
Di Susun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah PPKN
DISUSUN OLEH :
SINGGIH
PRABOWO AJI (20120720034)
M.
ZAKKY AFANDI (20120720045)
NASRUDIN
(20120720089)
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
OTONOMI DAERAH
A. PENDAHULUAN
1. Latar
Belakang
Di Indonesia, otonomi daerah mulai bergulir sejak
keluarnya UU No.1 Tahun 1945, kemudian UU No.2 Tahun 1948 dan UU No.5 Tahun
1974 tentang pokok-pokok pemerintahan di daerah. Semuanya berupaya menciptakan
pemerintahan yang cenderung ke arah desentralisasi. Namun pelaksanaannya
mengalami pasang surut, sampai masa reformasi bergulir.
Prinsip otonomi daerah adalah pemerintahan daerah
diberi wewenang untuk mengelola daerahnya sendiri. Hanya saja pada beberapa
bidang yang tetap ditangani pemerintah pusat, yaitu agama, peradilan,
pertahanan, dan keamanan moneter/fiscal, politik luar negri dan dalam negri
serta sejumlah kewenangan bidang lain (meliputi perencanaan nasional dan
pengadilan pembangunan secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem
administrasi Negara dan lembaga perekonomian Negara, pembinaan sumber daya
manusia, pendaya gunaan sumber daya alam serta teknologi tinggi yang strategis
dan konversi serta standarisasi nasional).
2. Rumusan Maslah
a. Apakah Hakikat Otonomi Daerah
Itu?
b. Apa Visi
Otonomi Daerah?
c. Bagaimana Sejarah Otonomi Daerah
Di Indonesia?
d. Apa Sajakah Prinsip-prinsip
Pelaksanaan Otonomi Daerah?
e. Bagaimana Proses Pembagian
Kekuasaan Antara Pusat dan Daerah Dalam UU No.22 Tahun 1999?
3. Tujuan
Makalah
Tujuan penulisan
makalah ini adalah:
a. Untuk mengetahui hakekat otonomi daerah.
b. Untuk
mengetahui visi otonomi daerah.
c. Untuk menjelaskan sejarah
otonomi daerah.
d. Untuk
mengetahui prinsip-prinsip otonomi daerah.
e. Untuk menjelaskan kekusasaan
antara pusat dan daerah dalam UU No.22 Tahun 1999
B. PEMBAHASAN
1.
Arti Otonomi
Daerah
Istilah
otonomi daerah dan desentralisasi dalam konteks bahasa sistem penyelenggaraan
pemerintahan sering digunakan secara campur aduk (interchangeably). Kedua istilah tersebut secara akademik bisa
dibedakan, namun secara praktis dalam penyelenggaraan pemerintahan tidak dapat
dipisahkan. Karena itu tidak mungkin masalah otonomi daerah dibahas tanpa
mempersandingkannya dengan konsep desentralisasi. Bahkan menurut banyak
kalangan otonomi daerah adalah desentralisasi itu sendiri. Tak heran misalnya
dalam buku-buku referensi, termasuk di sini, pembahasan otonomi daerah diulas
dengan memakai istilah desentralisasi. Kedua istilah tersebut bagaikan dua mata koin yang saling menyatu
namun dapat dibedakan. Di mana desentralisasi pada dasarnya mempersoalkan
pembagian kewenangan kepada organ-organ penyelenggara negara, sedangkan otonomi
menyangkut hak yang mengikuti pembagian wewenang tersebut.
Konsep
desentralisasi sering di bahas dalam konteks pembahasan mengenai
penyelenggaraan sistem pemerintahan dan pembangunan. Pada masa sekarang, hampir
setiap negara bangsa (nation state)
menganut desentralisasi sebagai suatu asas dalam penyelenggaraan pemerintahan
negara. Desentralisasi bukan merupakan sistem yang berdiri sendiri melainkan
merupakan rangkaian kesatuan dari suatu sistem yang lebih besar. Suatu negara bangsa menganut desentralisasi
bukan karena alternatif dari sentralisasi. Antara desentralisasi dan sentralisasi tidak dilawankan, dan
karenanya tidak bersifat dikotomis, melainkan merupakan sub-sub sistem dalam
kerangka sistem organisasi negara. Karenanya, suatu negara bangsa merupakan
payung desentralisasi dan sentralisasi.
Berbagai definisi
tentang desentralisasi dan otonomi daerah telah banyak dikemukakan oleh para
pakar sebagai bahan perbandingan dan bahasan dalam upaya menemukan pengertian
yang mendasar tentang pelaksanaan otonomi daerah sebagai manifesatasi
desentralisasi. Otonomi dalam makan sempit dapat diartikan sebagai ‘mandiri’.
Sedangkan dalam makna yang lebih luas diartikan sebagai ‘berdaya’. Otonomi
daerah dengan demikian berarti kemandirian suatu daerah dalam kaitan pembuatan
dan pengambilan keputusan mengenai kepentingan daerahnya sendiri. Jika daerah
sudah mampu mencapai kondisi tersebut maka daerah dapat dikatakan sudah berdaya
untuk melakukan apa saja secara madiri tanpa tekanan dari luar (external intervention).
Jadi desentralisasi
adalah pelimpahan kewenangan dari tanggung jawab dari pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah.
2.
Arti Penting Otonomi
Daerah-Desentralisasi
Memasuki abad ke-21,
Indonesia tampaknya harus berangkat dalam kondisi yang kurang menguntungkan.
Krisis ekonomi dan politik yang melanda Indonesia sejak 1997 telah memporak-porandakan
hampir seluruh sendi-sendi ekonomi dan politik negeri ini yang telah dibangun
cukup lama. Lebih jauh lagi, krisis
ekonomi dan politik yang berlanjut menjadi multikrisis telah mengakibatkan
semakin rendahnya tingkat kemampuan dan kapasitas negara dalam menajmin
kesinambungan pembangunan. Krisis tersebut salah satunya diakibatkan oleh
sistem manajemen negara dan pemerintahan yang sentralistik, di mana kewenangan
dan pengelolaan segala sektor pembangunan berada dalam kewenangan pemerintah
pusat, sementara daerah tidak memiliki kewenangan untuk mengelola dan mengatur
daerahnya.
Sebagai respon dari
krisis tersebut, pada masa reformasi dicanangkan suatu kebijakan
restrukturisasi sistem pemerintahan yang cukup penting yaitu melaksanakan
otonomi daerah dan pengaturan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah.
Paradigma lama dalam manajemen negara dan pemerintahan yang berporos pada
sentralisme kekuasaan diganti menjadi kebijakan otonomi yang berpusat pada
desentralisme. Dalam pada itu, kebijakan otonomi daerah tidak dapat dilepaskan
dari upaya politik Pemerintah Pusat untuk merespon tuntunan kemerdekaan atau
negara federal dari berbagai wilayah yang memiliki aset sumber daya alam
melimpah namun tidak mendapatkan haknya secara proposional pada masa pemerintahan
Orde Baru.
Desentralisasi
danggap dapat menjawab tuntunan pemerataan, pembangunan sosial ekonomi,
penyelenggaraan ekonomi, penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan kehidupan
berpolitik yang efektif. Sebab desentralisasi menjamin penanganan tuntutan
masyarakat secara variatif dan cepat. Ada beberapa alasan mengapa kebutuhan
terhadap desentralisasi di Indonesia saat ini dirasakan sangat mendesak. Pertama, kehidupan berbangsa dan
bernegara selama ini sangat terpusat di Jakarta (Jakarta centris). Sementara itu, pembangunan di berbagai wilayah
lain dilalaikan. Kedua, pembagian
kekayaan secara tidak adil dan merata. Daerah-daerah yang memiliki sumber
kekayaan alam melimpah, seperti Aceh, Riau, Irian Jaya (Papua), Kalimantan, dan
Sulawesi ternyata tidak menerima perolehan dana yang patut dari pemerintah
pusat. Ketiga, kesenjangan sosial
(dalam makna seluas-luasnya) antara satu daerah dengan daerah lain sangat
terasa. Pembangunan fisik di satu daerah berkembang pesat sekali, sedangkan
pembangunan di banyak daerah masih lamban dan bahkan terbengkalai.
Sementara
itu ada alasan lain yang didasarkan pada kondisi ideal, sekaligus memberikan
landasan filosofis bagi penyelenggaraan pemerintahan daerah
(desentralisasi) sebagaimana dinyatakan
oleh The Liang Gie sebagai berikut (Jose Riwu Kaho, 2001, h.8):
a. Dilihat dari sudut politik sebagai permainan kekuasaan, desentralisasi
dimaksudkan untuk mencegah penumpukan kekuasaan pada satu pihak saja yang pada
akhirnya dapat menimbulkan tirani.
b. Dalam bidang politik, penyelenggaraan desentralisasi dianggap sebagai
tindakan pendemokrasian, untuk menarik rakyat ikut serta dalam pemerintahan dan
melatih diri dalam mempergunakan hak-hak demokrasi.
c. Dari sudut teknik organosatoris pemerintahan, alasan mengadakan
pemerintahan daerah (desentralisasi) adalah semata-mata untuk mencapai suatu
pemerintahan yang efisien. Apa yang dianggap lebih utama untuk diurus oleh
pemerintah setempat, pengurusannya diserahkan kepada daearah.
d. Dari sudut kultur, desentralisai perlu diadakan supaya adanya perhatian
dapat sepenuhnya ditumpukan kepada kekhususan
sesuatu daerah, seperti geografi, keadaan penduduk, kegiatan ekonomi,
watak kebudayaan atau latar belakang sejarahnya.
e. Dari sudut kepentingan pembangunan ekonomi, desentralisasi diperlukan
karena pemerintah daerah dapat lebih banyak dan secara langsung membantu
pembangunan tersebut.
Pilihan terhadap desentralisasi
haruslah dilandasi argumentasi baik secara teoritik ataupun empirik. Kalangan
teoritisi pemerintahan dan politik mengajukan sejumlah argumen yang menajadi
dasar atas pilihan tersebut sehingga dapat dipertanggungjawabkan baik secara
empirik ataupun normatif-teoritik. Di antara berbagai argumentasi dalam memilih
desentralisasi-otonomi (Syaukani, et.al., 2002, h. 20-30), yaitu:
1) Untuk
terciptanya efisiensi-efektivitas penyelenggaraan pemerintahan.
Pemerintah berfungsi mengelola berbagai
dimensi kehidupan seperti bidang sosial, kesejahteraan masyarakat, ekonomi,
keuangan, politik, integrasi sosial, pertahanan, keamanan dalam negeri, dan
lain-lainnya. Selain itu juga mempunyai fungsi distributif akan hal-hal yang
telah diungkapkan, fungsi regulatif baik yang menyangkut penyedian barang dan
jasa ataupun yang berhubungan dengan kompetensi dalam rangka penyediaan tersebut,
dan fungsi ekstraktif yaitu memobilisasi sumber daya keuangan dalam rangka
membiayai aktifitas penyelenggaraan negara
2)
Sebagai sarana pendidikan politik.
Banyak kalangan
ilmuwan politik berargumentasi bahwa pemerintah daerah merupakan kancah pelatihan
(training ground) dan pengembangan
demokrasi dalam sebuah negara. Alexis de ‘Tocqueville mencatat bahwa “town meetings are to liberty what primary
schools are to science: they bring it within the people reach, they teach men
how to use and how to enjoy it”. John Stuart Mill dalam tulisannya “Representative Government” menyatakan
bahwa pemerintahan daerah akan menyediakan kesempatan bagi warga masyarakat
untuk berpartisipasi politik, baik dalam rangka memilih atau kemungkinan untuk
dipilih dalam suatu jabatan politik. Meraka yang tidak mempunyai peluang untuk
terlibat dalam politik nasional dan memilih pemimpin nasional, akan mempunyai
peluang untuk ikut serta dalam politik lokal, baik dalam pemilihan umum lokal
ataupun dalam rangka pembuatan kebijakan publik. Dengan demikian, pendidikan politik pada tingkat lokal sangat
bermanfaat bagi warga masyarakat untuk menentukan pilihan politiknya.
3)
Pemerintah dearah sebagai persiapan untuk karir politik lanjutan.
Banyak kalangan ilmuwan politik
sepakat bahwa pemerintah daearah merupakan langkah persiapan untuk meniti
karier lanjutan, terutamam karir di bidang politik dan pemerintahan di tingkat
nasional. Adalah sesuatu hal yang mustahil bagi seseorang untuk muncul dengan
begitu saja menjadi politisi berkaliber nasional atau pun internasional.
4)
Stabilitas Politik.
Sharpe berargumentasi bahwa
stabilitas politik nasional menstinya berawal dari stabilitas politik pada
tingkat lokal. Terjadinya pergolakan daerah pada tahun 1957-1958 dengan
puncaknya adalah kelahiran dari PRRI dan PERMESTA, karena daerah melihat
kenyataan kekuasaan pemerintah Jakarta yang sangat dominan. Demikian pula yang
terjadi di Philipina, yamh mengakibatkan masyarakat Muslim di Mindanao berjuang
untuk melepaskan diri dari pemerintahan di Manila. Hal yang sama dapat
diketemukan di Thailand. Warga Muslim di Daerah Selatan yang dikenal sebagai
masyarakat Patani juga berjuang melawan pemerintahan nasional di Bangkok,
karena mereka menganggap bahwa Bangkok tidak memperlakukan mereka dengan baik.
5) Kesetaraan politik (political equality).
Dengan dibentuknya pemerintahan daerah maka
kesetaraan politik di antara berbagai komponen masyarakat akan terwujud.
Mengapa demikian? Masyarakat di tingkat lokal, sebagaimana halnya dengan
masyarakat di pusat pemerintahan, akan mempunyai kesempatan untuk terlibat
dalam politik, apakah itu dengan melalui pemberian suara pada waktu pemilihan
Kepala Desa, Bupati, Wali Kota, dan bahkan Gubernur. Di samping itu warga
masyarakat baik secara sendiri-sendiri ataupun secara berkelompok akan ikut
terlibat dalam mempengaruhi pemerintahannya untuk membuat kebijakan, terutama
yang menyangkut kepentingan mereka.
6)
Akuntabilitas publik.
Demokrasi memberikan ruang dan
peluang kepada masyarakat, termasuk di daerah, untuk berpartisipasi dalam segala
bentuk kegiatan penyelenggaraan negara. Keterlibatan ini sangat dimungkinkan
sejak dari awal tahap pengambilan keputusan sampai dengan evaluasi. Dengan
demikian maka kebijakan yang dibuat akan dapat diawasi secara langsung dan
dapat dipertanggungjawabkan karena masyarakat terlibat secara langsung dalam
penyelenggaraan pemerintahan.
3.
Visi Otonomi Daerah
Visi Desentralisasi merupakan simbol adanya trust (kepercayaan) dari Pemerintah Pusat Kepada Daerah. Ini dengan
sendirinya mengembalikan harga diri pemerintah dan masyarakat daerah. Kalau
dalam sistem sentralistik mereka tidak bisa berbuat banyak dalam mengatasi
berbagai masalah, dari sistem ini mereka ditantang untuk secara kreatif
menemukan solusi-solusi dari berbagai masalah yang dihadapai. Sekarang, dengan
berlakunya UU No. 22/1999 dan UU No. 25/1999, kewenangan itu didesentralisasikan ke daerah. Artinya pemerintah dan masyarakat
di daerah dipersilahkan mengurus rumah tangganya sendiri secara bertangung
jawab. Pemerintah pusat tidak lagi
mendominasi. Peran pemerintah pusat dalam konteks desentralisasi ini adalah melakukan supervise, memantau,
mengawasi, dan mengevaluasi pelaksanaan otonomi daerah. Peran ini tidak ringan,
tetapi juga tidak membebani daerah secara berlebihan. Karena itu, dalam rangka
otonomi daerah diperlukan kombinasi yang efektif antara visi dan kepemimpinan
yang kuat dari pemerintah pusat dengan keluasaan berprakarsa dan berkreasi dari
pemerintah daerah.
Visi otonomi daerah ini dapat dirumuskan dalam
tiga ruang lingkup interaksinyayang utama : politik, ekonoimi, serta sosial dan
budaya (Syaukani, et. al, 2002, h. 172-176) Di bidang politik, karena otonomi
adalah buah dari kebijakan desentralisasi dan demokrasi, maka ia harus dipahami
sebagai sebuah proses untuk membuka ruang bagi lahirnya kepala pemerintahan
daerah yang dipilih secara demokratis, memungkinkan berlangsungnya
penyelenggaraan pemerintah yang responsive terhadap kepentingan masyarakat luas
dan memelihara suatu mekanisme pengambilan keputusan yang taat pada asas
pertanggung jawaban publik.
Di bidang ekonomi, otonomi daerah disatu pihak
harus menjamin lancarnya pelaksanaan kebijakan ekonomi nasional di daerah, dan
di pihak lain terbukanya peluang bagi pemerintah daerah mengembangkan kebijakan
regional dan lokal untuk mengoptimalkan pendayagunaan potensi ekonomi di
daerahnya. Dalam konteks ini, otonomi daerah akan memungkinkan lahirnya
berbagai prakarsa pemerintah daerah untuk mennawarkan fasilitas inventasi,
memudahkan proses perizinan usaha, dan membangun berbagai infrastruktur yang
menunjang perputararn ekonomi di daerah. Dengan demikian, otonomi daerah akan
membawa masyarakat ke tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi dari waktu ke
waktu.
Di bidang sosial dan budaya otonom daerah
harus dikelola sebaik mungkin demi menciptakan dan memelihara harmoni sosial,
dan pada saat yang sama, memelihara nilai - nilai lokal yang dipandang kondusif
dalam menciptakan kemampuan masyarakat untuk merespon dinamika kehidupan di
sekitarnya.
Berdasarkan misi ini, maka konsep otonomi
daerah yang kemudian melandasi lahirnya UU No. 22 tahun 1999 dan UU No. 25
tahun 1999, merangkum hal - hal berikut ini:
a. Penyerahan
sebanyak mungkin kewenangan pemerintahan dalam hubungan domestik kepada daerah.
Kecuali untuk bidang keuangan dan moneter, politik luar negeri, peradilan,
pertahanan, keagamaan, serta beberapa bidang kebijakan pemerintahan yang
bersifat strategis nasional, maka pada dasarnya semua bidang pemerintahan yang
lain dapat didesentralisasikan.
b. Penguatan peran
DPRD sebagai representasi rakyat lokal dalam pemilihan dan penetapan kepala
daerah. Kewenangan DPRD dalam menilai keberhasilan atau kegagalan kepemimpinan
kepala daerah harus dipertegas. Pemberdayaan fungsi - fungsi DPRD dalam bidang
legislasi, representasi, dan penyalur aspirasi masyarakat harus dilakukan.
Untuk itu, optimalisasi hak-hak DPRD perlu diwujudkan, seraya menambah alokasi
anggaran untuk biaya operasinya.
c. Pembangunan tradisi politik yang lebih sesuai
dengan kultur demokrasi demi menjamin tampilanya kepemimpinan pemerintahan yang
berkualifikasi tinggi dengan tingkat akseptabilitas yang tinggi pula.
d. Peningkatan efektifitas fungsi-fungsi
pelayanan eksekutif melalui pembenahan organisasi dan institusi yang dimiliki
agar lebih sesuai dengan ruang lingkup kewengan yang telah di
desentralisasikan, setara dengan beban tugas yang dipikul, selaras dengan
kondisi daerah, serta lebih responsive terhadap kebutuhan daerah
e. Peningkatan efisiensi administrasi keuangan daerah
serta pengaturan yang lebih jelas atas sumber - sumber pendapatan negara dan
daerah, pembagian revenue (pendapatan)
dari sumber penerimaan yang berkait dengan kekayaan alam, pajak dan retribusi,
serta tata cara dan syarat untuk pinjaman dan obligasi daerah.
f. Perwujudan desentralisasi fiscal dari
pemerintah pusat yang bersifat alokasi subsidi berbentuk blok gram, pengaturan pembagian sumber-sumber pendapatan daerah,
pemberian keleluasaan kepada daerah untuk menentapkan prioritas pembangunan,
serta optimalisasi upaya pemberdayaan masyarakat melalui lembaga - lembaga
swadaya pembangunan yang ada.
Rondinelli membedakan empat bentuk
desentralisasi yaitu :
1) Dekonsentrasi
Dekonsentrasi adalah pembagian kewenangan dan
tanggung jawab administratif antara departemen pusat dengan pejabat pusat
dilapangan tanpa adanya penyerahan kewenangan unutk mengambil keputusan atau
keleluasaan untuk membuat keputusan.
2) Delegasi
Adalah pelimpahan pengambilan keputusan dan
kewenangan manajerial untuk melakukan tugas tugas khusus kepada suatu
organisasi yang tidak secara langsung berada di bawah pengawasan
pemerintah pusat.
3) Devolusi
Adalah transfer kewenangan untuk pengambilan keputusan, keuangan
dan menajemen kepada unit otonomi pemerintah daerah.
Bentuk devolusi memiliki 5 karakteristik:
a. Unit pemerintahan bersifat otonom, mandiri dan secara tegas terpisah dari tingkatan
tingkatan pemerintahan, pemerintah pusat tidak melakukan pengawasan langung
terhadapnya.
b. Unit pemerintaha lokal diakui mempunyai batas batas wilayah yang jelas dan
legal yang mepunyai wewwnang untuk melakukan tugas tugas umum pemerintahan.
c.
Unti pemerintah daerah berstatus sebagai badan hukum dan berwenang
untuk mengelola dan memanfaakan sumber sumber daya untuk mendukung
pelaksanaantugasnya.
d.
Unit pemerinthan daerah diakui oleh warganya sebagai suatu lembaga
yang memberikan pelayanan kepada masyarakat dan memenuhi kebutuhan meraka.
e.
Terdapat hubungan yang saling menguntungkan melalui koordinasi
antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta unit unit organisasi
lainnya dalam suatu sistem pemerintahan.
4)
Privatisasi
Tindakan pemberian kewenangan dari pemerintah kapada badan badan
sukarela , swasta dan swadaya masyaraka, teapi bisa juga merupaka peleburan
badan badan pemerintah menjadi badan usaha swasta. Misalnya, BUMN dan BUMD
dilebur menjadi PT. Dalam hal sosial pemerintah memberikan kewenangan dan
tanggung jwab kepada lembaga swadaya masyarakat (LSM) dalam hal seperti membina
kesejahteraan keluarga, koperasi petani dan koperasi nelayan untulk memberikan
kegiatan kegiatan sosial untuk meningkatkan peran serta pemberdayaan
masyarakat.
4.
Sejarah Otonomi Daerah Di Indonesia
Peraturan perundang-undangan pertama kali yang mengatur tentang
pemerintahan daerah pasca proklamasi kemerdekaan adalah UU Nomor 1 tahun 1945. Ditetapkannya undang-undang ini
hasil (resultante) dari berbagai pertimbangan tentang sejarah pemerintahan di
masa kerajaan-kerajaan serta pada masa pemerintahan kolonialisme. Undang-undang
ini menekankan pada aspek cita-cita kedaulatan rakyat melalui pengaturan
pembentukan Badan Perwakilan Rakyat Daerah. Didalam Undang-undang ini
ditetapkan 3 (tiga) jenis daerah otonom, yaitu karesidenan, kabupaten, dan
kota.
Perjalanan otonomi daerah di Indonesia selalu ditandai dengan
lahirnya suatu produk perundang-undangan yang menggatikan produk sebelumnya.
Perubahan tersebut pada satu sisi menandai dinamika orientasi pembangunan
daerah di Indonesia dari masa ke masa. Tapi di sisi lain hal ini dapat pula
dipahami sebagai bagian dari “eksperimen politik” penguasa dalam menjalankan
kekuasaanya.
5.
Prinsip-Prinsip Otonomi Daerah Dalam Uu No. 22 Tahun 1999
Prinsip-prinsippemberian otonomi daerah yang dijadikan pedoman
dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagaimana terdapat dalam UU No. 22
Tahun 1999 adalah (Nur Rif’ah Masykur, peny., 2001, h. 21):
1.
Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memperhatikan
aspek demokrasi, keadilan, pemerataan, serta potensi dan keanekaragaman daerah.
2.
Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan pada otonomi luas,nyata, dan
bertanggungjawab.
3.
Pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuh diletakkan di daerah
kabupaten dan daerah kota, sedangkan pada daerah propinsi merupakan otonomi
yang terbatas.
4.
Pelaksanaan otonomi daerah harus sesuai dengan konstitusi Negara
sehingga tetap terjamin hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta
antar-daerah.
5.
Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan kemandirian
daerah otonom, dan karenanya dalam daerah kabupaten dan kota tidak ada lagi
wilayah administrasi.
6.
Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan peranan dan
fungsi badan legislatif daerah, baik fungsi legilasi, fungsi pengawasan maupun
fungsi anggaran atas penyelenggaraan pemerintahan daerah.
7.
Pelaksanaan asas demokrasi diletakkan pada daerah propinsi dalam
kedudukannya sebagai wilayah administrasi untuk melaksanakan kewenangan
pemerintahan tertentu yang dilimpahkan kepada Gubernur sebagai Wakil
Pemerintah.
8.
Pelaksanaan asas tugas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari
pemerintah Kepala Daerah, tetapi juga dari pemerintah dan daerah dalam desa
yang disertai dengan pembiyayaan, saran dan prasarana, serta sumber daya
manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan mempetanggungjawabkan
kepada yang menugaskan.
6.
Pembagian Kekusaan Antara Pusat Dan Daerah Dalam Uu No. 22 Tahun
1999
Pembagiaan kekuasaan antara Pusat dan Daerah dilakukan berdasarkan
prinsip Negara kesatuan tetapi dengan semangat federalism. Jenis kekuasaan
Pemerintah hamper sama dengan yang ditangani oleh pemerintah di Negara federal,
yaitu hubungan luar negeri, pertahanan dan keamanan, peradilan, moneter, dan
agama, serta berbagai jenis urusan yang memegang lebih efesien di tangani
secara sentral oleh pemerintah pusat, seperti kebijakan makro ekonomi,
standarisasi nasional, administrasi pemerintahan, badan usaha milik Negara, dan
pengembangan sumber daya manusia. Semua jenis kekuasaan yang ditangani
pemerintah pusat disebitkan secra spesifik dalam UU tersebut.
Di samping itu otonomi seluas-luasnya (keleluasaan otonomi) juga
mencakup kewenangan yang utuh dan bulat dalam penyelenggaraannya melalui
perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian, dan evaluasi. Kewenangan
yang diserahkan kepada daerah otonom yang dalam rangka desentralisasi harus
pula disertai penyerahan dan pengalihan pembiyaan, sarana dan prasarana, dan
sumber daya manusia. Kewenangan yang diserahkan kepada Daerah Otonom Propinsi
dalam rangka desentralisasi mencakup:
a. Kewenangan yang bersifat lintas Kabupaten dan Kota, seperti
kewenangan dalam bidang pekerjaan umum, perhubungan, kehutanan, dan perkebunan;
b. Kewenangan pemerintahan lainya,
yaitu perencanaan dan pengendaliaan pembangunan regional secara makro,
pelatihan bidang alokasi sumber daya manusia potensial, pelatihan yang mencakup
wilayah Propinsi, pengelolaan pelabuahan regional, pengendaliaan lingkungan
hidup, promosi dagang dan budaya/pariwisata, penanganan penyakit menular, dan
perencanaan tata ruang propinsi;
c. Kewenangan kelautan yang meliputi eksplorasi, eksploitasi,
konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut, pengaturan kepentingan
administrative, pengaturan tata ruang, penegakan hokum, dan bantuan penegakan
keamanan dan kedaulatan Negara; dan
d. Kewenangan yang tidak atau belum dapat di tanggapi daerah
kabupaten dan daerah kota dan diserahkan kepada propinsi dengan pernyataan dari
Daerah Otonom Kabupaten atau Kota tersebut.
Dalam rangka Negara kesatuan, pemerintah pusat memiliki kewenangan
melakukan pengawasan terhadap daerah otonom. Tetapi pengawasan yang dilakukan
pemerintah pusat terhadap daerah otonom diimbangi dengan kewenangan daerah
otonom yang lebih besar, atau sebaliknya, sehingga terjadi semacam keseimbangan
kekuasaan.
Pemerintah pusat dan daerah otonom harus patuh kepada keputusan MA.
Terdapat 11 jenis kewenangan wajib yang diserahkan kepada Daerah Otonom
Kabupaten dan Daerah Otonom Kota, yaitu:
1. Pertahanan,
2. Pertanian,
3. Pendidikan dan Kebudayaan,
4. Tenaga kerja,
5. Kesehatan,
6. Lingkungan hidup,
7. Pekerjaan umum,
8. Perhubungan,
9. Perdagangan dan industry,
10. Penanaman modal, dan
11. Koperasi.
Namun bila diperhatikan secara seksama, maka kesebelas jenis
kewenangan itu termasuk kategori pelanyanan publik baik berupa infrastruktur,
seperti pekerjaan umum dan perhubungan maupun kebutuhan dasar seperti
pertahanan, kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan, dan lingkungan hidup; baik
yang menyangkut penyiapan tenaga kerja, seperti pendidikan, tenaga kerja dan
kesehatan maupun penciptaan keselamatan kerja, seperti pertanian, koprasi,
perdagangan, dan industry, dan penanaman modal.
Penyerahan kesebelas jenis kewenangan ini kepada daerah otonom
kabupaten dan daerah otonom kota dilandasi oleh sejumlah pemikiran berikut:
Pertama,
makin dekat produsen dan distributor pelanyan public dengan warga masyarakat
yang dilayani, semakin tepat sasaran, merata, berkualitas dan terjangkau
pelanyana publik tersebut. Hal ini disebabkan karena DPRD dan Pemda sebagai
produsen dan distributor pelanyanan publik dinilai lebih memahami aspirasi warga
daerah, lebih mengetahui kemampuan warga daerah, lebih mengetahui potensi dan
kendala daerah, dan lebih mampu mengendalikan penyelenggaraan pelayanan publik
yang berlingkup lokal daripada Propinsi dan Pusat.
Kedua,
penyerahan 11 jenis itu kepada daerah otonom kabupaten dan daerah otonom kota
akan membuka peluang dan kesempatan bagi aktor-aktor politik lokal dan sumber
daya manusia yng berkualitas di daerah untuk mengajukan prakarsa, beraktivitas,
dan melakukan inovasi karena kewenangan merencanakan, membahas, memutuskan,
melaksanakan, mengevaluasi, dan akuntabilitas mengenai 11 jenis kewenangan itu
berada pada para aktor politik lokal dan sumber daya manusia lokal yang
berkualitas.
Ketiga,
karena distribusi sumber daya manusia yang berkualitas tidak merata, dan
kebanyakan berada di Jakarta dan kota besar lainya, maka penyerahan 11 jenis
kewenangan ini juga dimaksudkan agar sumber daya manusia yang berkualitas di
kota-kota besar direstribusikan dari Jakarta ke daerah otonom Kabupaten dan
Kota.
Keempat,
pengangguran dan kemiskinan sudah menjadi masalah nasional yang tidak saja
hanya dipikiul kepada penerintah pusat semata. Akan tetapi dengan adanya
pelimpahan kewenangan tersebut, diharapkan terjadi diseminasi kepedulian dan
tanggung jawab untuk meminimalisir atau bahkan menghilangkan masalah tersebut
sebagaiman dimaksudkan dalam tujuan awal otonomi daerah.
7.
Otonomi Daerah Dan Demokratisasi
Eksistensi kebijakan otonomi daerah sangat penting dipahami sebagai
bagian dari agenda demokratisasi kehidupan bangsa. Dengan kata lain, kebijakan
otonomi daerah tidak boleh dipandang sebagai a final destination melainkan
lebih sebagai mekanisme dalam menciptakan demokratisasi penyelenggaraan
pemerintah. Oleh karenanya dapat dimengerti apabila Mawhood kemudian merumuskan
tujuan utama otonomi daerah sebagai upaya untuk mewujudkan political equality,
local accountability, dan local responsiveness. Di antara persaratan yang harus
dipenuhi untuk mencapai tujuan tersebut adalah pemerintah daerah harus memiliki
teritorial kekuasaan yang jelas (legal territorial of power); memiliki
pendapatan daerah sendiri (local own income); memiliki badan perwakilan (local
representative body) yang mempu mengontrol eksekutif daerah; dan adanya kepala
daerah yang dipilih sendiri oleh masyarakat daerah melalui pemilu (local leader
executive by election).
Dengan rumusan dan tujuan otonomi daerah semacam ini, keberadaan
kebijakan otonomi daerah akan mampu menciptakan sistem pemerintahan yang
demokratis. Argumen dasranya adalah, denagn konsep tersebut di asumsukan
masyarakat akan memiliki akses yang lebih besar dalam mengontrol
penyelenggaraan pemerintahan di daerah.
8.
Kasus
Beberapa kasus muncul di Papua sebagai akibat kesalahan dalam
pelaksanaan Otonomi Daerah, antara lain kasus Freeport dan Organisasi Papua
Merdeka (OPM). Kasus Freeport adalah kasus mengenai suatu perusahaan tambang
yang sudah sekian lama mengeruk kekayaan alam Papua, namun tidak berimbas baik
bagi penduduk pribumi Papau, justru kehadiran PT. Freeport merugikan penduduk
pribumi. Sehingga penduduk pribumi Papua
ingin lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dan membentuk negara
sendiri.Sebagai akibat dari rasa ketidakpuasan atau kekecewaan mendapatkan
perilaku yang tidak adil, bagaimana tanggapan anda, apakah Papua berhak untuk
membentuk Negara nya dan bagaimana peran pemerintah dalam menghadapi masalah
ini?
Ada beberapa langkah-langkah yang digunakan untuk menyelesaikan
kasus diatas:
a. Kelas dibuat menjadi beberapa kelompok.
b. Mahasiswa diberi waktu 5 menit
untuk mendiskusikan kasus tersebut.
c. Mahasiswa mempresentasikan hasil diskusi tersebut, dengan sistem
debat dan diatur oleh seorang moderator.
9. Kesimpulan
kasus
Dari beberapa kelompok berhak
untuk mempertahankan fahamnya masing-masing dengan argumen yang dibenarkan
undang-undang.
C. PENUTUPAN
1.
Kesimpulan
a.
Otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom
untukmengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat
setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dan daerah otonom
mempunyai kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu.
b.
Otonomi daerah juga mempunyai tujuan yaitu membebaskan pemerintah
pusat dari beban-beban yang tidak perlu dalam menangani urusan daerah.
2.
Saran
a.
Harus ada lembaga-lembaga atau organisasi yang mempu menampung
semua aspirasi rakyat serta adanya kesadaran diri dari masyarakat itu sendiri.
b.
Pemerintah pusat tetap harus mengatur dan menjalankan urusan di
beberapa sektor di tingkat kabupaten dan menjamin bahwa pemerintah lokal
mempunyai kapasitas dan mekanisme bagi pengaturan hokum tambahan atas
bidang-bidang tertentu.
c.
Perlu adanya pengawasan yang baik di lakukan oleh pemerintah pusat
di setiap kabupaten.
NASRUDIN
SINGGIH
JAKI AFANDI
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah,
Rozali, Pelaksanaan Otonomi Luas, Jakarta: Rajawali, 2001.
Guruh, Syahda, Menimbang
Otonomi vs Federal, Bandung: Rosdakarya, 2000.
Koswara,
E., Otonomi Daerah Untuk Demokrasi dan Kemandirian Rakyat, Jakarta:
Yayasan Fariba, 2001.
MacAndrews,
Cohin and Ichlasu Amal, Hubungan Pusat Daerah dan Pembangunan, Jakarta:
Rajawali, 2001.
Masykur,
Nur Rif’ah (penyusun), Peluang dan Tantangan Otonomi Daerah, Jakarta: PT.
Permata Artistika Kreasi, 2001.
Rondimelli,
Dennis A. dan Cheema G. Shabir, Decentralization and Development, Policy
Implementation in Developing Coutries, California: SAGE Publications Inc.,
Beverly Hills, 1988.
Smith,
Brian C., Decentralization, The Territorial Dimension of State, London: Goerge
Allen Unwin, 1985.
Surbakti,
Ramlan, Otonomi Daerah Seluas-luasnya dan Faktor Pendukungnya, Jakarta,
2001.
Widjaja,
AW, Titik Berat Otonomi pada Daerah Tingkat II, Jakarta: Rajawali, 2001.
Yudhoyono,
Bambang, Otonomi Daerah, Jakarta: Sinar Harapan, 2001.
UU
No. 22 tahun 1999 tetnatng Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
UU
No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemarintah Pusat dan
Daerah
UU
No. 5 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Ucapkan Salam