5 Desember 2014

FATWA MENURUT MAJLIS TARJIH

FATWA MENURUT MAJLIS TARJIH

Pengertian umum fatwa.
Menurut Muhammad Atho Mudzhar, sedikitnya ada empat jenis pemikiran hukum Islam yang dikenal dalam perjalanan sejarah hukum Islam, yaitu pertama, pemikiran hukum Islam yang ada dalam kitab-kitab fikih. Kedua, pemikiran hukum Islam yang ada dalam perundang-undangan di negara Muslim. Ketiga, pemikiran hukum Islam yang ada dalam keputusan hakim di pengadilan agama. Keempat, pemikiran hokum Islam yang ada dalam fatwa-fatwa ulama. Keempat jenis ini memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Kitab-kitab fikih ditulis oleh pengarangnya tidak dimaksudkan untuk diberlakukan secara umum di suatu negeri dan tidak dimaksudkan untuk digunakan pada periode tertentu.Oleh karena itu, isi kitab-kitab fikih tidak mengikat kepada siapa pun.
Adapun perundang-undangan di negara Muslim diundangkan untuk suatu negeri tertentu,oleh karena itu ia mengikat semua warga Negara di negara yang mengundangkannya. Sedangkan keputusan pengadilan agama diputuskan oleh pengadilan yang mengikat kepada para pihak yang berperkara. Sedangkan fatwa-fatwa ulama dirumuskan karena ada pertanyaan dari mustaftî. Fatwa ini tidak mempunyai daya ikat kepada si penanya (mustaftî). Untuk lebih detailnya jenis pemikiran hukum Islam yang keempat ini, berikut ini akan dijelaskan secara rinci. Penjelasan detail ini karena terkait dengan sub-judul, seperti termaktub di atas.
Secara etimologis, kata fatwa merupakan kata yang diserap dari bahasa Arab, yaitu al-fatwâ. Kata alfatwâini merupakan bentuk ism (kata benda) yang singular(mufrad), adapun dalam bentuk jama‘nya (pluralnya) adalah alfatâwâ. Secara bahasa, al-fatwâ memiliki arti petuah, nasihat, jawaban atas pertanyaan yang berkaitan dengan hukum suatu masalah. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, fatwa diartikan sebagai jawaban (keputusan) yang diberikan oleh ahli hukum Islam terutama oleh mufti tentang suatu masalah. Menurut Yûsuf Qardâwî, secara bahasa al-fatwâ adalah jawaban mengenai suatu kejadian (peristiwa).


Baca juga:        Media pembelajaran
                
                :        Kisi-kisi US PAI

                :        Doa dalam Al-Quran

Asal muasal kata al-fatwâ, kata alZamakhsyari, seperti dikutip oleh Yûsuf Qardâwî, adalah berasal dari  kata al-fatâ yang memiliki makna pemuda dalam usianya. Secara istilah, makna fatwa dalam kajian usul fikih adalah pendapat yang dikemukakan seorang mujtahid ataufakih sebagai jawaban yang diajukan peminta fatwa (mustaftî) dalam suatu kasus yang sifatnya tidak mengikat.  Yûsuf Qardâwî, ulama yang sangat produktif menulis buku yang buku-bukunya banyak  diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia ini, mendefinisikan fatwa adalah menerangkan hukum syara‘ dalam suatu persoalan sebagai jawaban dari suatu pertanyaan, baik si penanya itu jelas identitasnya maupun tidak, baik perseoranganmaupun kolektif.
Dalam at-Ta‘rîf, al-Manâwî (1031 H/1622 M) mendefinisikan fatwa sebagai penjelasan kepada penanya tentang hukum kasus yang ditanyakan. Dari pengertian ini, dapat dikemukakan di sini bahwa pemberi fatwa disebut dengan  muftî sedangkan peminta fatwa disebut dengan mustaftî.  Sekarang ini, mufti atau pemberi fatwa dapat dilakukan oleh seorang tokoh dalam kapasitas sebagai pribadi dan dapat juga dilakukan atas nama lembaga. Al-Quran al-Karîm, mukjizat yang diturunkan secara bertahap (tadrij), terdiri dari tiga puluh juz’ dan 114 surat merupakan wahyu Allah yang dibawa oleh Muhammad saw. sebagai Nabi dan Rasul Allah terakhir telah menggunakan beberapa kata yang isinya berisi fatwa sebagaimana definisi fatwa tersebut, misalnya ﻚﻧﻮﺘﻔﺘﺴﻳ dan ﻚﻧﻮﻠﻳ , dua kata ini paling banyak dipergunakan oleh al-Quran alKarîm dari kata sejenisnya. Kata ﻚﻧﻮﺘﻔﺘﺴﻳ dan seakar kata denganya dapat dijumpai di dalam al-Quran al-Karîm, yaitu pada surat an-Nisâ’(4): 127,176; Yûsuf(12): 41; dan al-Kahfi(18): 22, sedangkan kata ﻚﻧﻮﻠﺌﺴﻳ dapat dijumpai sebanyak kata di dalam al-Quran al-Karîm, yaitu surat al-Baqarah(2): 189,215,217,219,220,222; alMâidah(5): 4; al-A‘râf(7): 187; al-Anfâl(8): 1; al-Isrâ’(17): 85; alKahfi(18): 83;Tâha(20): 105; dan al-Nâzi‘ât(79): 42. Ada juga ayatyang merupakan jawaban ataspertanyaan tetapi jawaban itu tidak memakai dua kata seperti yang disebutkan sebelumnya, misalnya, dalam surat al-Mâidah(5): 87-88. Ayat ini merupakan jawaban atas pertanyaan seorang laki-laki kepada Nabi, di mana laki-laki ini menyampaikan kepada Nabi bahwa kalau dia makan daging, bangkitlah syahwatnya kepada wanita, karena itu, lapor laki-laki tersebut, ia mengharamkan makan daging untuk dirinya. Berdasarkan kejadian ini, turunlah ayat 87-88 surat alMâidah(5):
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä Ÿw (#qãBÌhptéB ÏM»t6ÍhsÛ !$tB ¨@ymr& ª!$# öNä3s9 Ÿwur (#ÿrßtG÷ès? 4 žcÎ) ©!$# Ÿw =Ïtä tûïÏtF÷èßJø9$# ÇÑÐÈ   (#qè=ä.ur $£JÏB ãNä3x%yu ª!$# Wx»n=ym $Y7ÍhsÛ 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# üÏ%©!$# OçFRr& ¾ÏmÎ/ šcqãZÏB÷sãB ÇÑÑÈ  
87. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.
88. dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya.
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengharamkan makanan yang baik yang sudah dihalalkan oleh Allah, dan jangan pula kamu berlebih-lebihan
(87). Dan karena itu, makanlah rezeki yang diberikan kepadamu yang halal dan yang baik dan bertakwalah kamu kepada Allah, Tuhan yang beriman kepada-Nya (88). Adapun hadis yang menjadi latar belakang turunnya kedua ayat di atas adalah sebagai berikut: yang artinya sebagai berikut:
Artinya: Dari Ibn ‘Abbâs r.a, sesungguhnya ada seorang laki-laki datang kepada Rasulullah saw. Lalu bertanya kepada Rasul, ya Rasul, jika saya makan daging, bangkitlah syahwatku kepada perempuan, maka saya mengharamkan kepada diriku untuk memakan daging, maka Allah menurunkan ayat: wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengharamkan barang-barang yang baik yang dihalkan Allah kepada kamu sekalian, dan janganlah kamu berlebihan, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas, dan makanlah apa saja yang halal lagi baik yang dirizkikan kepada kamu sekalian (HR. at-Tirmizî).
Sanad hadis ini terdiri dari ‘Abd Allâh b ‘Abbâs `Abd al-Mutallib b Hisyâm, ‘Ikrimah Maulâ Ibn ‘Abbâs, ‘Usmân b Sa‘ad, ad-Dahak b Mukhallid b ad-Dahak b Muslim, dan ‘Amr b ‘Alî b Bahr b Kunaiz. Hadis yang diriwayatkan oleh atTirmizî ini sanadnya bersambung namun ada salah satu rawi dalam sanad ini, yaitu ‘Usmân b Sa‘ad yang dinilai oleh para kritikus hadis sebagai rawi yang da‘îf. Tetapi menurut at-Tirmizî sendiri, hadis yang diriwayatkannya termasuk hadis hasan garîb. Dari pengertian fatwa di atas, dapat disimpulkan bahwa format fatwa itu adalah tanya jawab atau dialog antara mustaftîdengan muftî. Dilihat dari sisi format ini, agaknya fatwa telah muncul sejak Nabi Muhammad masih hidup. Muhammad sebagai Nabi dan Rasul telah menjadi sosok manusia yang menjadi contoh dan teladan bagi para sahabat. Karena itu, segala persoalan yang dihadapi para sahabat akan ditanyakan kepada Nabi Muhammad saw untuk memperoleh jawabannya. Setelah beliau wafat, fatwa mengalami perkembangan yang pesat, sebab persoalan terus bergulir bersamaan dengan perkembangan masyarakat Muslim. Seperti diketahui bahwa perkembangan masyarakat Muslim yang pesat secara otomatis diikuti dengan munculnya persoalan baru yang dihadapi masyarakat Muslim itu sendiri.
Perkembangan fatwa ini terus mengalami perkembangan baik secara kuantitatif maupun kualitatif, baik pada masa klasik maupun modern seirama dengan perkembangan masyarakat itu sendiri. Dalam masa modern ini, sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, penyebaran fatwa telah berkembang pesat, baik ditetapkan secara individual maupun kolektif melalui berbagai media, sebut saja, mulai radio, surat kabar, majalah, televise dan internet. Dengan penyebaran melalui media-media ini, fatwa tidak hanya dibaca oleh muftaftî saja sebagai orang yang berkepentingan meskipun tidak mengikat terhadap dirinya tetapi juga masyarakat luas, tidak hanya di tempat di mana muftaftîberada, bahkan masyarakat di negara lain dapat mengakses fatwa yang dikeluarkan, khususnya lewat internet atau penerjemahan. Dari perjalanan sejarah iftâ’dari masa klasik sampai zaman modern telah dihasilkan ratusan jilid himpunan fatwa. Haji Khalîfah (w. 1067/1658 M) menyebutkan bahwa  buku-buku fatwa yang terbit dalam lingkungan mazhab hingga zamannya tidak kurang dari 160 judul, dan ‘Umar al-Jidi menyebutkan sekitar 80 judul buku kumpulan fatwa mazhab Mâlikî.
Di antara himpunan fatwa dari zaman klasik adalah Fatâwâ Ibn Taimiyyah. Adapun di zaman modern ini, seperti himpunan fatwa Dâr al-Iftâ’di Kairo sebanyak 130 volume lebih yang merekam fatwa institusi selama lebih dari satu abad sejak tahun 1895. Dalam kajian usul fikih, biasanya dibedakan antara mufti dengan mujtahid. Muftî, seperti telah disinggung di atas, adalah seorang pemberi fatwa, baik karena diminta oleh masyarakat atau tidak. Sedangkan mujtahid adalah orang yang melakukan penemuan hukum, baik dari al-Quran, as-Sunnah al-Maqbûlahmaupun dengan menggunakan metode-metode tertentu. Pembedaan ini sebetulnya tidak selamanya benar. Sebagai muftî, dia harus mampu menjawab segala persoalan yang ditanyakan oleh masyarakat, baik yang ditanyakan itu ada penjelasannya di dalam sumber ajaran Islam atau tidak.
Dalam posisi demikian, seorang mufti tentu harus menguasai seperti yang dimiliki seorang mujtahid. Dengan demikian, pembedaan mufti dan mujtahid perlu dikaji ulang. Fatwa dalam kajian usul fikih, seperti disebutkan dalam definisi di atas, tampaknya makna fatwa lebih fokus pada persoalan hukum. Fokus ini dapat dipahami karena definisi ini dikemukakan oleh ahli usul fikih. Namun, kalau dicermati fatwafatwa kontemporer, nampak dengan jelas bahwa isi fatwa tidak hanya terbatas pada masalah hukum saja tetapi lebih dari itu, yaitu fatwafatwa dewasa ini menyangkut semua persoalan dalam agama, mulai dari masalah hukum, akhlak, akidah dan muamalah. Berangkat dari sini, sebetulnya lembaga fatwa itu boleh dikatakan adalah lembaga agama.
Di samping itu, mufti juga dibedakan dengan hakim. Hakim adalah suatu jabatan di suatu lembaga pengadilan. Kalau muftî adalah pemberi fatwa sebagai jawaban atas suatu pertanyaan yang diajukan kepadanya, maka hakim adalah orang yang membuat keputusan berdasarkan persoalanpersoalan yang diajukan masyarakat kepada pengadilan. Persoalanpersoalan yang diputuskan oleh hakim terbatas pada kompetensi (kewenangan) pengadilan yang diberikan negara. Dengan kata lain, produk pengadilan hanya terbatas pada kewenangannya. Sedangkan fatwa dapat mencakup berbagai persoalan kehidupan yang dihadapi masyarakat. Di Indonesia, kewenangan pengadilan agama hanya terbatas pada empat pokok masalah, yaitu masalah perkawinan, kewarisan, perwakafan dan problem ekonomi syariah.
Sedangkan fatwa dapat mencakup berbagai persoalan kehidupan yang dihadapi masyarakat. Dilihat dari sudut kekuatan hukum atau daya ikat produk yang diputuskan, fatwa seorang muftîtidak mengikat kepada siapa saja, sementara keputusan hakim dari suatu pengadilan mengikat kepada para pihak yang berperkara di pengadilan. Sejarah perkembangan mufti selalu terkait dengan perkembangan fikih itu sendiri. Di saat sejarah fikih mengalami perkembangan menjadi mazhab-mazhab maka muftîdibatasi pada ruang lingkup mazhab tertentu. Seorang muftîdari mazhab tertentu cukup menguasai fikih mazhab tersebut. Ini berbeda dengan perkembangan fikih sebelumnya, di mana masyarakat dari berbagai lapisan yang belum disekat-sekat dengan mazhab, mereka diharuskan menguasai berbagai persolan, tidak hanya menyangkut kemampuan yang terkait dengan fokus akademik keilmuan tetapi juga menguasai perkembangan masyarakat itu sendiri, di mana persoalan itu muncul.
Dewasa ini, khususnya di berbagai negara Islam, telah terbentuk lembaga-lembaga fatwa yang secara resmi menjadi bagian dari negara, misalnya di Saudi Arabia, Mesir, Maroko, dan lain-lain. Tugas dari lembaga ini adalah mengurus berbagai persoalan umat Islam. Di lembaga-lembaga ini, muftî menduduki posisi yang strategis. Muftî sebagai suatu jabatan keagamaan dalam suatu negara harus mengayomi umat sesuai dengan perundangan-undangan. Ia tidak lagi terikat oleh mazhab tertentu tetapi pedomannya adalah sesuai dengan kehendak negara seperti yang disebutkan oleh konstistusi.
Tugas muftî tidaklah ringan karena fatwa yang disampaikan menyangkut agama. Artinya, fatwa fatwa yang disampaikan merupakan bentuk penafsiran agama atas masalah yang diajukan oleh mustaftî. Berdasarkan kenyataan ini, dalam kajian usul fikih, diajukan persyaratan-persyaratan sehingga fatwa yang dirumuskan dapat dipertanggungjawabkan. Persyaratan itu adalah (1) bâlig, berakal, dan merdeka. (2) adil, dan (3) memenuhui persyaratan seorang mujtahid atau memiliki kapasitas keilmuan untuk memberikan fatwa. Persyaratan pertama lebih menyangkut komponen individualitas mufti.
Persyaratan kedua lebih terkait dengan sikap keberagamaan mufti. Seorang mufti memang harus demikian karena ia dianggap mampu secara teoritik maupun pengamalan ajaran Islam. Al-Ghazali mengatakan bahwa yang dimaksud dengan adil dalam konteks ini adalah ia memiliki sikap istiqâmah dalam beragama dan selalu menjaga murûah. Persyaratan ketiga lebih menyangkut kapasitas keilmuan. Hal ini penting oleh karena seorang muftîharus berpengatahuan luas.
Syarat adil (integritas pribadi) dan keilmuan bagi seorang mufti seperti disebutkan di atas menjadi perhatian yang serius dari para ulama. Sebab keadilan memiliki implikasi terhadap fatwa yang akan disampaikan. Sering terjadi, ada mufti yang memberikan fatwa sesuai dengan pesanan. Adanya gejala demikian harus diantisipasi sedemikian rupa sehingga wibawa fatwa dapat dijaga kehormatannya. Sedangkan syarat kedua, yakni keilmuan, maka muftîakan berusaha menggali dari nacdan metode lain agar fatwa yang disampaikan sesuai dengan ajaran Islam.
Pengertian Fatwa Majlis Tarjih. Majlis Tarjih membagi produknya ke dalam tiga kategori, yaitu Keputusan Tarjih, Fatwa Tarjih dan Publikasi Tarjih. Ketiga produk ini memiliki spesifikasi dan daya ikat yang berbeda, khususnya bagi warga Muhammadiyah. Keputusan Tarjih merupakan suatu keputusan yang dibuat melalui forum Muktamar Tarjih atau Musyawarah Nasional Tarjih. Kategori ini dilaksanakan, setidaknya lima tahun sekali. Hasil keputusan yang dibuat dalam forum Musyawarah Nasional mengikat bagi pimpinan Muhammadiyah dari seluruh jajaran struktural Muhammadiyah, baik dari pusat, wilayah, daerah, cabang maupun ranting. Problem yang menyertai kategori ini adalah masa yang terlalu lama, yaitu lima tahun karena pada saat yang sama persoalan di tengah masyarakat terus bergulir tanpa dibatasi oleh
Untuk mengatasi problem jenis produk yang pertama di atas, makadibuat kategori kedua yaitu Fatwa Tarjih. Fatwa Tarjih merupakan forum yang dilaksanakan tim Pimpinan Pusat Muhammadiyah MajlisTarjih. Forum ini dibentuk untukmemenuhi permintaan dari berbagai wilayah, daerah atau perorangan tentang Fatwa Tarjih berkaitan dengan persoalan yang dihadapi warga Muhammadiyah yang perlu segera mendapat jawaban Fatwa Tarjih. Pertanyaan-pertanyaan warga Muhammadiyah ini kemudian dikirimkan kepada Suara Muhammadiyah. Melalui Suara Muhammadiyah ini, Majlis Tarjih menjawab apa saja yang ditanyakan oleh warga Muhammadiyah, mulai dari persoalan akidah, ibadah, muamalah, politik, ilmu-ilmu al-Quran, as-Sunnah al-Maqbûlahdan seterusnya.
 Sedangkan publikasi Tarjih adalah makalah dan penerbitan buku yang dianggap dapat memberikan wawasan tentang keislaman yang dipandang relevan dengan Majlis Tarjih. Dilihat dari substansi isi Antara Keputusan Tarjih dan Fatwa Tarjih, keduanya sama-sama membahas berbagai persoalan dalam Islam, dimulai dari masalah akidah, ibadah, muamalah, ‘ulûm al-Quran, ‘ulûm as-Sunnah al-Maqbûlahdan berbagai macam persoalan lainnya. Adapun yang berbeda adalah teknis pembuatan dan daya ikat kepada warga Muhammadiyah. Berdasarkan konteks ini, maka Fatwa Tarjih dan Keputusan Tarjih boleh dikatakan memiliki kesamaan dengan fatwa keagamaan pada umumnya, seperti dalam kajian usul fikih. Oleh karena itu, dalam tulisan ini, yang dimaksud dengan Fatwa Tarjih terdiri dari Keputusan dan Fatwa Tarjih.
Keputusan Tarjih dibuat melalui forum Musyawarah Nasional Tarjih (selanjutnya ditulis Munas Tarjih) yang sekurang-kurangnya diselenggarakan satu kali dalam satu masa jabatan. Dilihat dari pesertanya, Munas Tarjih berasal dari ulama Muhammadiyah dari berbagai Wilayah Muhammadiyah se-Indonesia ditambah utusan dari berbagai rganisasi kemasyarakatan yang berbasis Islam. Dalam memecahkan suatu masalah, Munas Tarjih selalu menghadirkan seorang yang ahli dibidangnya, umpamanya, masalahekonomi, maka Munas Tarjih akan mengundang seorang yang ahli dalam bidang persoalan ekonomi sehingga persoalan yang akan dijadikan Keputu    san Tarjih betulbetul dipahami dengan sangat baik.
Sedangkan Fatwa Tarjih yang dikoordinasikan oleh divisi yang dibentuk Pimpinan Majlis Tarjih. Fatwa Tarjih dapat dibuat setiap saat sesuai dengan kebutuhan dan keperluan. Dari sini, bila dibandingkan dengan Keputusan Tarjih, Fatwa Tarjih jauh lebih fleksibel sesuai dengan perkembangan masalah yang dibutuhkan dan dihadapi, baik oleh warga Muhammadiyah maupun warga masyarakat pada umumnya yang meminta fatwa kepada Majlis Tarjih. Dalam membahas persoalanpersoalan, baik Keputusan maupun Fatwa Tarjih, diawali dengan memahami esensi persoalan yang dibahas. Setelah itu, dicari jawabannya di dalam sumber ajaran Islam, yaitu al-Quran dan as-Sunnah alMaqbûlah. Merujuk kepada kedua sumber ajaran Islam ini sesuai dengan komitmen Muhammadiyah yang tercermin dalam slogannya, yaitu kembali kepada al-Quran dan al-Sunnah (al-rujû‘ ilâ al-Qur’ân wa al-Sunnah al-Maqbûlah). Jika cara ini tidak ditemukan, maka Fatwa Tarjih maupun Keputusan Tarjih ditetapkan berdasarkan metode penetapan hukum seperti dalam kajian usul fikih pada umumnya. Untuk memperkuat keputusannya, Majlis Tarjih memakai pendapat para ulama.
Dilihat dari sini, dapat disimpulkan bahwa Fatwa Tarjih dan Keputusan Tarjih itu tidak sama dengan pengertian tarjih dalamkajian-kajian usul fikih yang hanya mencari dalil dan argumentasi yang paling kuat dari berbagai dalil atau pendapat yang ada. Sebaliknya, kalau dilhat dari proses dan hasilnya, Fatwa dan Keputusan Tarjih sama persis dengan hasil ijtihad. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa Fatwa dan Keputusan Tarjih merupakan produk ijtihad. Dari uraian-uraian terdahulu, dapat dibuat kesimpulan bahwa pada awalnya Tarjih sebagai nama bagi nama Majlis Tarjih Muhammadiyah dipilih seperti pengertian tarjih dalam usul fikih. Namun, seiring dengan perkembangan Muhammadiyah, Majlis Tarjih telah berfungsi sebagai lembaga ijtihad.
Sebab, yang dilakukan oleh Muhammadiyah tidak hanya me-râjih (mencari pendapat yang paling kuat dari) pendapat-pendapat yang ada tetapi lebih dari itu, Majlis Tarjih telah beraktifitas seperti ijtihad dalam pengertian usul fikih. Sumber hukum. Menurut Majlis Tarjih, sumber hukum untuk penetapan fatwa adalah al-Quran dan as-Sunnah al-Maqbûlah.
Penetapan atas al-Quran dan asSunnah al-Maqbûlahsebagai sumber hukum ini berbeda denganbeberapa ahli usul fikih lainnya, yang menetapkan sumber hukum tidak hanya al-Quran dan as-Sunnah alMaqbûlahsaja tetapi ijtihad dapat dijadikan sebagai sumber hukum.
Bagi Muhammadiyah, ijtihad lebih dimaknai sebagai proses daripada sebagai produk. Ijtihad sebagai produk dapat saja dijadikan sebagai sumber informasi untuk menetapkan suatu hukum. Namun, pengertian seperti ini yang dimaksudkan adalah hasil ijtihad. Dalam memahami sumber hukum, yakni al-Quran dan asSunnah al-Maqbûlahterdapat dua kecenderungan, yaitu berorientasi pada teks dan berorientasi pada konteks. Orientasi pertama biasa disebut dengan pemahaman tekstual, sedangkan orientasi kedua biasa disebut dengan pemahaman kontekstual. Dua kecenderungan ini dilaksanakan oleh Majlis Tarjih dalam memahami dua sumber hukum Islam. Pemahaman dengan orientasi tekstual dipakai oleh Majlis Tarjih untuk masalah-masalah yang ada hubungannya dengan akidah dan ibadah. Sedangkan orientasi kedua, yaitu pemahaman kontekstual dipakai untuk memahami masalah-masalah yang bersifat muamalah.
Metode Metode Penetapan-Penetapan. Adapun metode penetapan hukum menurut Majlis Tarjih adalah bayânî (semantik), ta‘lîlîdan istislâhî. Yang dimaksud dengan bayânîadalah metode penetapan hukum yang menggunakan pendekatan kebahasan. Sedangkan ta‘lîlîadalah metode penetapan hukum yang menggunakan pendekatan penalaran. Adapun istislâhî(filosofis) adalah metode penetapan hukum yang menggunakan kemaslahatan sebagai dasar pertimbangan dalam penetapan hukum.
Pendekatan Penetapan. Pendekatan yang digunakan Majlis Tarjih untuk masalah ijtihadiyah adalah at-tafsîr al-ijtimâ‘î al-mu‘âsir, at-târikhî, as-susiuluji dan alantrubuluji. Pemakaian pendekatan seperti ini merupakan bentuk respon positif Muhammadiyah terhadap perkembangan modern. Dikatakan demikian karena dalam kajian-kajian usul fikih, suatu ilmu sebagai perangkat analisis atas suatu fatwa, pendekatan yang demikian tidak dijumpai.
Pendekatan yang digunakan oleh MajlisTarjih ini berbeda dengan lembaga fatwa lainnya, misalnya Majlis Ulama Indonesia (MUI) atau Dewan Hisbah Persatuan Islam (Persis) atau Bahsul Masail NU. Penggunaan pendekatan ini menunjukkan keterbukaan Majlis Tarjih terhadap perkembangan pemikiran modern.
Teknik Penetapan. Penggunaan kata teknik dalam penetapan Fatwa Tarjih memang agak berbeda dengan kajian-kajian usul fikih. Dalam kajian usul fikih, kata teknik penetapan jarang digunakan bahkan bisa jadi tidak ditemukan istilah ini. Yang sering dijumpai dalam kitab-kitab usul fikih biasanya sumber hukum atau dalil atau metode. Adapun teknik yang dipergunakan oleh Majlis Tarjih dalam penetapan hukum adalah ijma, qiyas, masla hah mursalahdan ‘urf.
Teknik perumusan hukum oleh Majlis Tarjih ini berbeda dengan para ahli usul fikih klasik, yang menempatkan ijma, qiyas, maslahah mursalahdan ‘urfsebagai sumber hukum atau dalil hukum Islam, meskipun penggunaannya masih diperselisihkan (aladillah al-mukhtalaf fîhâ).
Penutup
Dari paparan-paparan singkat di atas dapat ditarik beberapa point berikut ini. Majlis Tarjih adalah salah satu majlis di lingkungan Muhammadiyah yang memiliki kedudukan strategis, yaitu sebagai pembantu pimpinan Persyarikatan dalam menuntun keagamaan warga Muhammadiyah, baik masalah akidah, ibadah, muamalat, akhlak, dan masalah keagamaan lainnya. Dalam menjalankan tugas ini, Majlis Tarjih telah memiliki pola penetapan fatwa di dalam memutuskan suatu masalah keagamaan. Pola tersebut adalah bahwa setiap masalah keagamaan yang putuskan oleh Majlis Tarjih, baik berbentuk Keputusan Tarjih maupun Fatwa Tarjih, selalu dirujukkan kepada sumber ajaran Islam, yaitu al-Quran dan as-Sunnah al-Maqbûlah. Dalam memahami dua sumber hukum ini, Majlis Tarjih menggunakan pemahaman tekstual dan kontekstual. Adapun metode penetapan fatwa menurut Majlis Tarjih adalah bayânî(semantik), ta‘lîlîdan istislâhî. Sedangkan pendekatan yang digunakan Majlis Tarjih untuk masalah ijtihadiyah adalah at-tafsîr al-ijtimâ‘î al-mu‘âsir, at-târikhî, assusiuluji dan al-antrubuluji. Di samping metode dan pendekatan, Majlis Tarjih memakai teknik untuk penetapan fatwa, yaitu ijma, qiyas, maslahah mursalahdan ‘urf.
Teknik perumusan hukum oleh Majlis Tarjih ini berbeda dengan para ahli usul fikih klasik, yang menempatkan ijma, qiyas, maslahah mursalahdan `urfsebagai sumber hukum atau dalil hukum Islam, meskipun penggunaannya masih diperselisihkan oleh sebagian ulama (al-adillah al-mukhtalaf fîhâ). Wallahu A’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ucapkan Salam