FATWA MENURUT MAJLIS TARJIH
Pengertian umum fatwa.
Menurut Muhammad Atho Mudzhar,
sedikitnya ada empat jenis pemikiran hukum Islam yang dikenal dalam perjalanan
sejarah hukum Islam, yaitu pertama, pemikiran hukum Islam yang ada dalam
kitab-kitab fikih. Kedua, pemikiran hukum Islam yang ada dalam perundang-undangan
di negara Muslim. Ketiga, pemikiran hukum Islam yang ada dalam keputusan hakim
di pengadilan agama. Keempat, pemikiran hokum Islam yang ada dalam fatwa-fatwa
ulama. Keempat jenis ini memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Kitab-kitab
fikih ditulis oleh pengarangnya tidak dimaksudkan untuk diberlakukan secara
umum di suatu negeri dan tidak dimaksudkan untuk digunakan pada periode
tertentu.Oleh karena itu, isi kitab-kitab fikih tidak mengikat kepada siapa
pun.
Adapun perundang-undangan di negara Muslim
diundangkan untuk suatu negeri tertentu,oleh karena itu ia mengikat semua warga
Negara di negara yang mengundangkannya. Sedangkan keputusan pengadilan agama
diputuskan oleh pengadilan yang mengikat kepada para pihak yang berperkara.
Sedangkan fatwa-fatwa ulama dirumuskan karena ada pertanyaan dari mustaftî.
Fatwa ini tidak mempunyai daya ikat kepada si penanya (mustaftî). Untuk lebih
detailnya jenis pemikiran hukum Islam yang keempat ini, berikut ini akan
dijelaskan secara rinci. Penjelasan detail ini karena terkait dengan sub-judul,
seperti termaktub di atas.
Secara etimologis, kata fatwa
merupakan kata yang diserap dari bahasa Arab, yaitu al-fatwâ. Kata alfatwâini
merupakan bentuk ism (kata benda) yang singular(mufrad), adapun dalam bentuk
jama‘nya (pluralnya) adalah alfatâwâ. Secara bahasa, al-fatwâ memiliki arti
petuah, nasihat, jawaban atas pertanyaan yang berkaitan dengan hukum suatu
masalah. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, fatwa diartikan sebagai jawaban
(keputusan) yang diberikan oleh ahli hukum Islam terutama oleh mufti tentang
suatu masalah. Menurut Yûsuf Qardâwî, secara bahasa al-fatwâ adalah jawaban
mengenai suatu kejadian (peristiwa).
Baca juga: Media pembelajaran
Asal muasal kata al-fatwâ, kata
alZamakhsyari, seperti dikutip oleh Yûsuf Qardâwî, adalah berasal dari kata al-fatâ yang memiliki makna pemuda dalam
usianya. Secara istilah, makna fatwa dalam kajian usul fikih adalah pendapat
yang dikemukakan seorang mujtahid ataufakih sebagai jawaban yang diajukan
peminta fatwa (mustaftî) dalam suatu kasus yang sifatnya tidak mengikat. Yûsuf Qardâwî, ulama yang sangat produktif
menulis buku yang buku-bukunya banyak
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia ini, mendefinisikan fatwa adalah
menerangkan hukum syara‘ dalam suatu persoalan sebagai jawaban dari suatu
pertanyaan, baik si penanya itu jelas identitasnya maupun tidak, baik
perseoranganmaupun kolektif.
Dalam at-Ta‘rîf, al-Manâwî (1031 H/1622 M) mendefinisikan fatwa sebagai penjelasan kepada
penanya tentang hukum kasus yang ditanyakan. Dari pengertian ini, dapat dikemukakan
di sini bahwa pemberi fatwa disebut dengan
muftî sedangkan peminta fatwa disebut dengan mustaftî. Sekarang ini, mufti atau pemberi fatwa dapat
dilakukan oleh seorang tokoh dalam kapasitas sebagai pribadi dan dapat juga
dilakukan atas nama lembaga. Al-Quran al-Karîm, mukjizat yang diturunkan secara
bertahap (tadrij), terdiri dari tiga puluh juz’ dan 114 surat merupakan wahyu
Allah yang dibawa oleh Muhammad saw. sebagai Nabi dan Rasul Allah terakhir
telah menggunakan beberapa kata yang isinya berisi fatwa sebagaimana definisi
fatwa tersebut, misalnya ﻚﻧﻮﺘﻔﺘﺴﻳ dan ﻚﻧﻮﻠﻳ , dua kata ini paling
banyak dipergunakan oleh al-Quran alKarîm dari kata sejenisnya. Kata ﻚﻧﻮﺘﻔﺘﺴﻳ dan seakar kata denganya
dapat dijumpai di dalam al-Quran al-Karîm, yaitu pada surat an-Nisâ’(4):
127,176; Yûsuf(12): 41; dan al-Kahfi(18): 22, sedangkan kata ﻚﻧﻮﻠﺌﺴﻳ dapat dijumpai sebanyak
kata di dalam al-Quran al-Karîm, yaitu surat al-Baqarah(2):
189,215,217,219,220,222; alMâidah(5): 4; al-A‘râf(7): 187; al-Anfâl(8): 1;
al-Isrâ’(17): 85; alKahfi(18): 83;Tâha(20): 105; dan al-Nâzi‘ât(79): 42. Ada
juga ayatyang merupakan jawaban ataspertanyaan tetapi jawaban itu tidak memakai
dua kata seperti yang disebutkan sebelumnya, misalnya, dalam surat
al-Mâidah(5): 87-88. Ayat ini merupakan jawaban atas pertanyaan seorang
laki-laki kepada Nabi, di mana laki-laki ini menyampaikan kepada Nabi bahwa
kalau dia makan daging, bangkitlah syahwatnya kepada wanita, karena itu, lapor
laki-laki tersebut, ia mengharamkan makan daging untuk dirinya. Berdasarkan kejadian
ini, turunlah ayat 87-88 surat alMâidah(5):
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä w (#qãBÌhptéB ÏM»t6ÍhsÛ !$tB ¨@ymr& ª!$# öNä3s9 wur (#ÿrßtG÷ès? 4 cÎ) ©!$# w =Ïtä tûïÏtF÷èßJø9$# ÇÑÐÈ (#qè=ä.ur $£JÏB ãNä3x%yu ª!$# Wx»n=ym $Y7ÍhsÛ 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# üÏ%©!$# OçFRr& ¾ÏmÎ/ cqãZÏB÷sãB ÇÑÑÈ
87. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan
apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu
melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui
batas.
88. dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah
telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman
kepada-Nya.
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengharamkan
makanan yang baik yang sudah dihalalkan oleh Allah, dan jangan pula kamu
berlebih-lebihan
(87). Dan karena itu, makanlah rezeki yang diberikan kepadamu yang
halal dan yang baik dan bertakwalah kamu kepada Allah, Tuhan yang beriman
kepada-Nya (88). Adapun hadis yang menjadi latar belakang turunnya kedua ayat
di atas adalah sebagai berikut: yang artinya sebagai berikut:
Artinya: Dari Ibn ‘Abbâs r.a,
sesungguhnya ada seorang laki-laki datang kepada Rasulullah saw. Lalu bertanya
kepada Rasul, ya Rasul, jika saya makan daging, bangkitlah syahwatku kepada
perempuan, maka saya mengharamkan kepada diriku untuk memakan daging, maka
Allah menurunkan ayat: wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
mengharamkan barang-barang yang baik yang dihalkan Allah kepada kamu sekalian,
dan janganlah kamu berlebihan, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang melampaui batas, dan makanlah apa saja yang halal lagi baik yang
dirizkikan kepada kamu sekalian (HR. at-Tirmizî).
Sanad hadis ini terdiri dari ‘Abd
Allâh b ‘Abbâs `Abd al-Mutallib b Hisyâm, ‘Ikrimah Maulâ Ibn ‘Abbâs, ‘Usmân b
Sa‘ad, ad-Dahak b Mukhallid b ad-Dahak b Muslim, dan ‘Amr b ‘Alî b Bahr b
Kunaiz. Hadis yang diriwayatkan oleh atTirmizî ini sanadnya bersambung namun
ada salah satu rawi dalam sanad ini, yaitu ‘Usmân b Sa‘ad yang dinilai oleh
para kritikus hadis sebagai rawi yang da‘îf. Tetapi menurut at-Tirmizî sendiri,
hadis yang diriwayatkannya termasuk hadis hasan garîb. Dari pengertian fatwa di
atas, dapat disimpulkan bahwa format fatwa itu adalah tanya jawab atau dialog
antara mustaftîdengan muftî. Dilihat dari sisi format ini, agaknya fatwa telah
muncul sejak Nabi Muhammad masih hidup. Muhammad sebagai Nabi dan Rasul telah menjadi
sosok manusia yang menjadi contoh dan teladan bagi para sahabat. Karena itu,
segala persoalan yang dihadapi para sahabat akan ditanyakan kepada Nabi Muhammad
saw untuk memperoleh jawabannya. Setelah beliau wafat, fatwa mengalami perkembangan
yang pesat, sebab persoalan terus bergulir bersamaan dengan perkembangan
masyarakat Muslim. Seperti diketahui bahwa perkembangan masyarakat Muslim yang
pesat secara otomatis diikuti dengan munculnya persoalan baru yang dihadapi
masyarakat Muslim itu sendiri.
Perkembangan fatwa ini terus mengalami perkembangan baik secara kuantitatif maupun
kualitatif, baik pada masa klasik maupun modern seirama dengan perkembangan
masyarakat itu sendiri. Dalam masa modern ini, sesuai dengan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi, penyebaran fatwa telah berkembang pesat, baik
ditetapkan secara individual maupun kolektif melalui berbagai media, sebut
saja, mulai radio, surat kabar, majalah, televise dan internet. Dengan
penyebaran melalui media-media ini, fatwa tidak hanya dibaca oleh muftaftî saja
sebagai orang yang berkepentingan meskipun tidak mengikat terhadap dirinya tetapi
juga masyarakat luas, tidak hanya di tempat di mana muftaftîberada, bahkan
masyarakat di negara lain dapat mengakses fatwa yang dikeluarkan, khususnya
lewat internet atau penerjemahan. Dari perjalanan sejarah iftâ’dari masa klasik
sampai zaman modern telah dihasilkan ratusan jilid himpunan fatwa. Haji
Khalîfah (w. 1067/1658 M) menyebutkan bahwa
buku-buku fatwa yang terbit dalam lingkungan mazhab hingga zamannya
tidak kurang dari 160 judul, dan ‘Umar al-Jidi menyebutkan sekitar 80 judul
buku kumpulan fatwa mazhab Mâlikî.
Di antara himpunan fatwa dari zaman klasik adalah Fatâwâ Ibn Taimiyyah. Adapun di zaman
modern ini, seperti himpunan fatwa Dâr al-Iftâ’di Kairo sebanyak 130 volume
lebih yang merekam fatwa institusi selama lebih dari satu abad sejak tahun
1895. Dalam kajian usul fikih, biasanya dibedakan antara mufti dengan mujtahid.
Muftî, seperti telah disinggung di atas, adalah seorang pemberi fatwa,
baik karena diminta oleh masyarakat atau tidak. Sedangkan mujtahid
adalah orang yang melakukan penemuan hukum, baik dari al-Quran, as-Sunnah
al-Maqbûlahmaupun dengan menggunakan metode-metode tertentu. Pembedaan ini
sebetulnya tidak selamanya benar. Sebagai muftî, dia harus mampu menjawab
segala persoalan yang ditanyakan oleh masyarakat, baik yang ditanyakan itu ada
penjelasannya di dalam sumber ajaran Islam atau tidak.
Dalam posisi demikian, seorang mufti
tentu harus menguasai seperti yang dimiliki seorang mujtahid. Dengan demikian,
pembedaan mufti dan mujtahid perlu dikaji ulang. Fatwa dalam kajian usul fikih,
seperti disebutkan dalam definisi di atas, tampaknya makna fatwa lebih fokus
pada persoalan hukum. Fokus ini dapat dipahami karena definisi ini dikemukakan
oleh ahli usul fikih. Namun, kalau dicermati fatwafatwa kontemporer, nampak
dengan jelas bahwa isi fatwa tidak hanya terbatas pada masalah hukum saja
tetapi lebih dari itu, yaitu fatwafatwa dewasa ini menyangkut semua persoalan
dalam agama, mulai dari masalah hukum, akhlak, akidah dan muamalah. Berangkat
dari sini, sebetulnya lembaga fatwa itu boleh dikatakan adalah lembaga agama.
Di samping itu, mufti juga dibedakan
dengan hakim. Hakim adalah suatu jabatan di suatu lembaga pengadilan. Kalau muftî adalah
pemberi fatwa sebagai jawaban atas suatu pertanyaan yang diajukan kepadanya,
maka hakim adalah orang yang membuat keputusan berdasarkan persoalanpersoalan
yang diajukan masyarakat kepada pengadilan. Persoalanpersoalan yang diputuskan oleh hakim terbatas pada
kompetensi (kewenangan) pengadilan yang diberikan negara. Dengan kata lain,
produk pengadilan hanya terbatas pada kewenangannya. Sedangkan fatwa dapat
mencakup berbagai persoalan kehidupan yang dihadapi masyarakat. Di Indonesia,
kewenangan pengadilan agama hanya terbatas pada empat pokok masalah, yaitu
masalah perkawinan, kewarisan, perwakafan dan problem ekonomi syariah.
Sedangkan fatwa dapat mencakup
berbagai persoalan kehidupan yang dihadapi masyarakat. Dilihat dari sudut
kekuatan hukum atau daya ikat produk yang diputuskan, fatwa seorang muftîtidak
mengikat kepada siapa saja, sementara keputusan hakim dari suatu pengadilan
mengikat kepada para pihak yang berperkara di pengadilan. Sejarah perkembangan
mufti selalu terkait dengan perkembangan fikih itu sendiri. Di saat sejarah
fikih mengalami perkembangan menjadi mazhab-mazhab maka muftîdibatasi pada
ruang lingkup mazhab tertentu. Seorang muftîdari mazhab tertentu cukup
menguasai fikih mazhab tersebut. Ini berbeda dengan perkembangan fikih
sebelumnya, di mana masyarakat dari berbagai lapisan yang belum disekat-sekat
dengan mazhab, mereka diharuskan menguasai berbagai persolan, tidak hanya
menyangkut kemampuan yang terkait dengan fokus akademik keilmuan tetapi juga
menguasai perkembangan masyarakat itu sendiri, di mana persoalan itu muncul.
Dewasa ini, khususnya di berbagai
negara Islam, telah terbentuk lembaga-lembaga fatwa yang secara resmi menjadi
bagian dari negara, misalnya di Saudi Arabia, Mesir, Maroko, dan lain-lain. Tugas dari lembaga ini adalah mengurus
berbagai persoalan umat Islam. Di lembaga-lembaga ini, muftî menduduki posisi yang strategis. Muftî sebagai suatu
jabatan keagamaan dalam suatu negara harus mengayomi umat sesuai dengan
perundangan-undangan. Ia tidak lagi terikat oleh mazhab tertentu tetapi
pedomannya adalah sesuai dengan kehendak negara seperti yang disebutkan oleh
konstistusi.
Tugas muftî tidaklah ringan karena fatwa yang disampaikan menyangkut agama. Artinya,
fatwa fatwa yang
disampaikan merupakan bentuk penafsiran agama atas masalah yang diajukan oleh
mustaftî. Berdasarkan kenyataan ini, dalam kajian usul fikih, diajukan persyaratan-persyaratan
sehingga fatwa yang dirumuskan dapat dipertanggungjawabkan. Persyaratan itu
adalah (1) bâlig, berakal, dan merdeka. (2) adil, dan (3) memenuhui persyaratan
seorang mujtahid atau memiliki kapasitas keilmuan untuk memberikan fatwa. Persyaratan
pertama lebih menyangkut komponen individualitas mufti.
Persyaratan kedua lebih terkait dengan
sikap keberagamaan mufti. Seorang mufti memang harus demikian karena ia
dianggap mampu secara teoritik maupun pengamalan ajaran Islam. Al-Ghazali mengatakan
bahwa yang dimaksud dengan adil dalam konteks ini adalah ia memiliki sikap
istiqâmah dalam beragama dan selalu menjaga murûah. Persyaratan ketiga lebih menyangkut
kapasitas keilmuan. Hal ini penting oleh karena seorang muftîharus
berpengatahuan luas.
Syarat adil (integritas pribadi) dan keilmuan bagi seorang mufti seperti disebutkan di atas menjadi
perhatian yang serius dari para ulama. Sebab keadilan memiliki implikasi terhadap
fatwa yang akan disampaikan. Sering terjadi, ada mufti yang memberikan fatwa sesuai
dengan pesanan. Adanya gejala demikian harus diantisipasi sedemikian rupa
sehingga wibawa fatwa dapat dijaga kehormatannya. Sedangkan syarat kedua, yakni
keilmuan, maka muftîakan berusaha menggali dari nacdan metode lain agar fatwa
yang disampaikan sesuai dengan ajaran Islam.
Pengertian Fatwa Majlis Tarjih. Majlis Tarjih membagi produknya ke dalam tiga kategori, yaitu Keputusan
Tarjih, Fatwa Tarjih dan Publikasi Tarjih. Ketiga produk ini
memiliki spesifikasi dan daya ikat yang berbeda, khususnya bagi warga
Muhammadiyah. Keputusan Tarjih merupakan suatu keputusan yang dibuat melalui
forum Muktamar Tarjih atau Musyawarah Nasional Tarjih. Kategori ini dilaksanakan,
setidaknya lima tahun sekali. Hasil keputusan yang dibuat dalam forum
Musyawarah Nasional mengikat bagi pimpinan Muhammadiyah dari seluruh jajaran struktural
Muhammadiyah, baik dari pusat, wilayah, daerah, cabang maupun ranting. Problem
yang menyertai kategori ini adalah masa yang terlalu lama, yaitu lima tahun karena
pada saat yang sama persoalan di tengah masyarakat terus bergulir tanpa
dibatasi oleh
Untuk mengatasi problem jenis produk
yang pertama di atas, makadibuat kategori kedua yaitu Fatwa Tarjih. Fatwa
Tarjih merupakan forum yang dilaksanakan tim Pimpinan Pusat Muhammadiyah
MajlisTarjih. Forum ini dibentuk untukmemenuhi permintaan dari berbagai wilayah,
daerah atau perorangan tentang Fatwa Tarjih berkaitan dengan persoalan yang
dihadapi warga Muhammadiyah yang perlu segera mendapat jawaban Fatwa Tarjih.
Pertanyaan-pertanyaan warga Muhammadiyah ini kemudian dikirimkan kepada Suara Muhammadiyah.
Melalui Suara Muhammadiyah ini, Majlis Tarjih menjawab apa saja yang ditanyakan
oleh warga Muhammadiyah, mulai dari persoalan akidah, ibadah, muamalah,
politik, ilmu-ilmu al-Quran, as-Sunnah al-Maqbûlahdan seterusnya.
Sedangkan publikasi Tarjih adalah
makalah dan penerbitan buku yang dianggap dapat memberikan wawasan tentang
keislaman yang dipandang relevan dengan Majlis Tarjih. Dilihat dari substansi
isi Antara Keputusan Tarjih dan Fatwa Tarjih, keduanya sama-sama membahas berbagai
persoalan dalam Islam, dimulai dari masalah akidah, ibadah, muamalah, ‘ulûm
al-Quran, ‘ulûm as-Sunnah al-Maqbûlahdan berbagai macam persoalan lainnya. Adapun
yang berbeda adalah teknis pembuatan dan daya ikat kepada warga Muhammadiyah.
Berdasarkan konteks ini, maka Fatwa Tarjih dan Keputusan Tarjih boleh dikatakan
memiliki kesamaan dengan fatwa keagamaan pada umumnya, seperti dalam kajian
usul fikih. Oleh karena itu, dalam tulisan ini, yang dimaksud dengan Fatwa
Tarjih terdiri dari Keputusan dan Fatwa Tarjih.
Keputusan Tarjih dibuat melalui forum Musyawarah Nasional Tarjih (selanjutnya
ditulis Munas Tarjih) yang sekurang-kurangnya diselenggarakan satu kali dalam
satu masa jabatan. Dilihat dari pesertanya, Munas Tarjih berasal dari ulama Muhammadiyah
dari berbagai Wilayah Muhammadiyah se-Indonesia ditambah utusan dari berbagai rganisasi
kemasyarakatan yang berbasis Islam. Dalam memecahkan suatu masalah, Munas
Tarjih selalu menghadirkan seorang yang ahli dibidangnya, umpamanya,
masalahekonomi, maka Munas Tarjih akan mengundang seorang yang ahli dalam
bidang persoalan ekonomi sehingga persoalan yang akan dijadikan Keputu san Tarjih betulbetul dipahami dengan sangat
baik.
Sedangkan Fatwa Tarjih yang dikoordinasikan oleh divisi yang dibentuk Pimpinan Majlis
Tarjih. Fatwa Tarjih dapat dibuat setiap saat sesuai dengan kebutuhan dan
keperluan. Dari sini, bila dibandingkan dengan Keputusan Tarjih, Fatwa Tarjih
jauh lebih fleksibel sesuai dengan perkembangan masalah yang dibutuhkan dan
dihadapi, baik oleh warga Muhammadiyah maupun warga masyarakat pada umumnya
yang meminta fatwa kepada Majlis Tarjih. Dalam membahas persoalanpersoalan,
baik Keputusan maupun Fatwa Tarjih, diawali dengan memahami esensi persoalan
yang dibahas. Setelah itu, dicari jawabannya di dalam sumber ajaran Islam,
yaitu al-Quran dan as-Sunnah alMaqbûlah. Merujuk kepada kedua sumber ajaran
Islam ini sesuai dengan komitmen Muhammadiyah yang tercermin dalam slogannya,
yaitu kembali kepada al-Quran dan al-Sunnah (al-rujû‘ ilâ al-Qur’ân wa
al-Sunnah al-Maqbûlah). Jika cara ini tidak ditemukan, maka Fatwa Tarjih maupun
Keputusan Tarjih ditetapkan berdasarkan metode penetapan hukum seperti dalam
kajian usul fikih pada umumnya. Untuk memperkuat keputusannya, Majlis Tarjih
memakai pendapat para ulama.
Dilihat dari sini, dapat disimpulkan
bahwa Fatwa Tarjih
dan Keputusan Tarjih itu tidak sama dengan pengertian tarjih dalamkajian-kajian
usul fikih yang hanya mencari dalil dan argumentasi yang paling kuat dari
berbagai dalil atau pendapat yang ada. Sebaliknya, kalau dilhat dari proses dan
hasilnya, Fatwa dan Keputusan Tarjih sama persis dengan hasil ijtihad. Oleh
karena itu, dapat disimpulkan bahwa Fatwa dan Keputusan Tarjih merupakan produk
ijtihad. Dari uraian-uraian terdahulu, dapat dibuat kesimpulan bahwa pada
awalnya Tarjih sebagai nama bagi nama Majlis Tarjih Muhammadiyah dipilih
seperti pengertian tarjih dalam usul fikih. Namun, seiring dengan perkembangan
Muhammadiyah, Majlis Tarjih telah berfungsi sebagai lembaga ijtihad.
Sebab, yang dilakukan oleh
Muhammadiyah tidak hanya me-râjih
(mencari pendapat yang paling kuat dari) pendapat-pendapat yang ada tetapi
lebih dari itu, Majlis Tarjih telah beraktifitas seperti ijtihad dalam
pengertian usul fikih. Sumber hukum. Menurut Majlis Tarjih, sumber hukum untuk
penetapan fatwa adalah al-Quran dan as-Sunnah al-Maqbûlah.
Penetapan atas al-Quran dan asSunnah
al-Maqbûlahsebagai sumber hukum ini berbeda denganbeberapa ahli usul fikih
lainnya, yang menetapkan sumber hukum tidak hanya al-Quran dan as-Sunnah
alMaqbûlahsaja tetapi ijtihad dapat dijadikan sebagai sumber hukum.
Bagi Muhammadiyah, ijtihad lebih dimaknai sebagai proses daripada sebagai produk.
Ijtihad sebagai produk dapat saja dijadikan sebagai sumber informasi untuk
menetapkan suatu hukum. Namun, pengertian seperti ini yang dimaksudkan adalah
hasil ijtihad. Dalam memahami sumber hukum, yakni al-Quran dan asSunnah
al-Maqbûlahterdapat dua kecenderungan, yaitu berorientasi pada teks dan
berorientasi pada konteks. Orientasi pertama biasa disebut dengan pemahaman
tekstual, sedangkan orientasi kedua biasa disebut dengan pemahaman kontekstual.
Dua kecenderungan ini dilaksanakan oleh Majlis Tarjih dalam memahami dua sumber
hukum Islam. Pemahaman dengan orientasi tekstual dipakai oleh Majlis Tarjih
untuk masalah-masalah yang ada hubungannya dengan akidah dan ibadah. Sedangkan
orientasi kedua, yaitu pemahaman kontekstual dipakai untuk memahami masalah-masalah
yang bersifat muamalah.
Metode Metode Penetapan-Penetapan. Adapun metode penetapan hukum menurut Majlis Tarjih adalah bayânî
(semantik), ta‘lîlîdan istislâhî. Yang dimaksud dengan bayânîadalah metode
penetapan hukum yang menggunakan pendekatan kebahasan. Sedangkan ta‘lîlîadalah
metode penetapan hukum yang menggunakan pendekatan penalaran. Adapun istislâhî(filosofis)
adalah metode penetapan hukum yang menggunakan kemaslahatan sebagai dasar
pertimbangan dalam penetapan hukum.
Pendekatan Penetapan. Pendekatan yang digunakan Majlis Tarjih untuk masalah ijtihadiyah
adalah at-tafsîr al-ijtimâ‘î al-mu‘âsir, at-târikhî, as-susiuluji dan
alantrubuluji. Pemakaian pendekatan seperti ini merupakan bentuk respon positif
Muhammadiyah terhadap perkembangan modern. Dikatakan demikian karena dalam
kajian-kajian usul fikih, suatu ilmu sebagai perangkat analisis atas suatu
fatwa, pendekatan yang demikian tidak dijumpai.
Pendekatan yang digunakan oleh
MajlisTarjih ini berbeda
dengan lembaga fatwa lainnya, misalnya Majlis Ulama Indonesia (MUI) atau Dewan
Hisbah Persatuan Islam (Persis) atau Bahsul Masail NU. Penggunaan pendekatan
ini menunjukkan keterbukaan Majlis Tarjih terhadap perkembangan pemikiran
modern.
Teknik Penetapan. Penggunaan kata teknik dalam penetapan Fatwa Tarjih memang agak
berbeda dengan kajian-kajian usul fikih. Dalam kajian usul fikih, kata teknik penetapan
jarang digunakan bahkan bisa jadi tidak ditemukan istilah ini. Yang sering
dijumpai dalam kitab-kitab usul fikih biasanya sumber hukum atau dalil atau
metode. Adapun teknik yang dipergunakan oleh Majlis Tarjih dalam penetapan hukum
adalah ijma, qiyas, masla hah mursalahdan ‘urf.
Teknik perumusan hukum oleh Majlis Tarjih ini berbeda dengan para ahli usul fikih klasik,
yang menempatkan ijma, qiyas, maslahah mursalahdan ‘urfsebagai sumber hukum
atau dalil hukum Islam, meskipun penggunaannya masih diperselisihkan (aladillah
al-mukhtalaf fîhâ).
Penutup
Dari paparan-paparan singkat di atas dapat
ditarik beberapa point berikut ini. Majlis Tarjih adalah salah satu majlis di
lingkungan Muhammadiyah yang memiliki kedudukan strategis, yaitu sebagai pembantu
pimpinan Persyarikatan dalam menuntun keagamaan warga Muhammadiyah, baik
masalah akidah, ibadah, muamalat, akhlak, dan masalah keagamaan lainnya. Dalam
menjalankan tugas ini, Majlis Tarjih telah memiliki pola penetapan fatwa di
dalam memutuskan suatu masalah keagamaan. Pola tersebut adalah bahwa setiap masalah
keagamaan yang putuskan oleh Majlis Tarjih, baik berbentuk Keputusan Tarjih
maupun Fatwa Tarjih, selalu dirujukkan kepada sumber ajaran Islam, yaitu
al-Quran dan as-Sunnah al-Maqbûlah. Dalam memahami dua sumber hukum ini, Majlis
Tarjih menggunakan pemahaman tekstual dan kontekstual. Adapun metode penetapan
fatwa menurut Majlis Tarjih adalah bayânî(semantik), ta‘lîlîdan istislâhî.
Sedangkan pendekatan yang digunakan Majlis Tarjih untuk masalah ijtihadiyah
adalah at-tafsîr al-ijtimâ‘î al-mu‘âsir, at-târikhî, assusiuluji dan
al-antrubuluji. Di samping metode dan pendekatan, Majlis Tarjih memakai teknik
untuk penetapan fatwa, yaitu ijma, qiyas, maslahah mursalahdan ‘urf.
Teknik perumusan hukum oleh Majlis Tarjih ini
berbeda dengan para ahli usul fikih klasik, yang menempatkan ijma, qiyas,
maslahah mursalahdan `urfsebagai sumber hukum atau dalil hukum Islam, meskipun
penggunaannya masih diperselisihkan oleh sebagian ulama (al-adillah
al-mukhtalaf fîhâ). Wallahu A’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Ucapkan Salam