28 November 2014

Manajemen Pendidikan

BAB II
Seorang guru sering kurang menyadari mengenai banyaknya kejadian yang melingkupi kehidupan kelasnya. Kelas bukanlah sekedar sekumpulan anak yang melakukan kegiatan belajar di bawah tanggung jawab guru dan sematamata dibatasi oleh keempat dinding/tembok pembatas.  Kelas sesungguhnya merupakan lingkungan yang kompleks dan berbagai peristiwa bisa terjadi. Berikut merupakan aspek-aspek kehidupan kelas dari Doyle (1986) dalam Good dan Brophy (1991: 2) yang patut dipelajari guru terutama untuk bertindak selaku managers:
1.    Multidimensionality.
Terdapat tugas yang berbeda dan berbagai peristiwa muncul di kelas. Laporan kegiatan belajar dan jadwal penyelesaiannya mesti dapat guru kendalikan.  Saat anak bekerja haruslah terkontrol.  Pekerjaannya harus dapat dikumpulkan dan dievaluasi. Satu peristiw tertentu sering membawa berbagai akibat. Saat guru menunggu seorang anak untuk menjawab satu pertanyaan saja, pertanyaan lain dari anak lainnya bisa muncul. Hal itu dapat memberi pengaruh positif tetapi tidak mustahil memberi pengaruh negatif sehingga kegiatan belajar anak berlangsung lambat sampai waktunya beristirahat.


2.    Simultaneity.
Berbagai kejadian secara bersamaan sering pula muncul di dalam kelas.  Saat suatu diskusi berlangsung, seorang guru tidak hanya mendengarkan dan membantu anak memberikan jawaban tetapi juga guru dituntut untuk memperhatikan anak lainnya yang tidak memberikan respon agar suasana kelas tetap terkendali dan berlangsung kondusif dan efektif.
3.    Immediacy.
Langkah dari berbagai peristiwa yang terjadi di kelas sesungguhnya berlangsung cepat. Setiap anak umumnya menghendaki respon yang cepat atas kebutuhan belajarnya. Mengevaluasi keterlibatan anak dalam proses pengajaran, dalam satu jam saja, guru sangat mungkin harus melakukannya beberapa kali. Tuntutan untuk memperhatikan kegiatanbelajar anak secara individual dan beralih pada kegiatan anak secara kelompok/klasikal, akan terus silih berganti dalam frekuensi yang tinggi dan berlangsung cepat.
4.    Unpredictable and public classroom climate
Berbagai peristiwa sering muncul di dalam kelas melalui cara yang tidak terduga oleh guru. Apa yang terjadi pada diri anak tertentu sering dapat dilihat dengan cepat oleh anak-anak yang lain, tetapi tidak dengan cepat dapat dipelajari guru. Anak-anak sering pula dapat menangkap apa yang guru rasakan menyangkut tindakannya atas anak lain, dan mereka memberi respon yang tidak terduga terhadap gurunya. Interaksi demikian sering membentuk suatu iklim kelas yang kurang menyenangkan dan tidak lagi kondusif atas proses pengajaran.
5.    History
Setelah suatu penyelenggaraan pengajaran berlangsung beberapa minggu atau beberapa bulan, norma-norma yang berlaku umum di kelasterbentuk dan berbagai pengertian berkembang.  Peristiwa yang muncul di awal tahun menjadi pembuka (bisa positif atau negatif) bagi terjadinya peristiwa-peristiwa berikutnya.  Selanjutnya, hal itu berpengaruhi atas fungsi kelas di akhir tahun. Mengingat hal di atas, maka kelas sepantasnya dipandang sebagai tempat untuk tumbuh dan berkembangnya semua potensi anak. Karena itu kelas sepantasnya dikelola dengan baik sehingga nyaman dan menyenangkan bagi kegiatan belajar anak. Kelas septutnya rapi, bersih, sehat, tidak lembab, cukup cahaya, adanya sirkulasi udara, perabotnya tertat baik, dan jumlah siswanya tidak terlalu banyak. Untuk menunjang kenyamanan dan rasa senang anak dalam belajar, selain berbagai aspek kehidupan kelas di muka harus dipahami guru, juga beberapa hal berikut tidak boleh luput dari perhatian mereka, seperti tata ruang kelas,dan perabotnya: papan tulis dan penghapusnya, meja kursi guru, meja kursi anak, lemari kelas, jadwal pelajaran, papan absensi, daftar piket kelas, kalender pendidikan, gambar-gambar, tempat cuci tangan dan lap tangan, tempat sampah, sapu lidi, sapu ijuk, sapu moceng, pajangan pekerjaan anak, kapur, dan lain-lainnya.

Sesungguhnya keberhasilan pengajaran tidaklah dapat dipisahkan dari keseriusan usaha dan semangat guru mengelola kelasnya. Good dan Brophy (1991:  2) mensinyalir bahwa kegagalan guru mengembangkan potensi dirinyadalam pengajaran bukanlah karena mereka tidak menguasai mata pelajaran tetapi mereka itu tidak mengerti siapa murid-muridnya dan apa kelas itu sesungguhnya. Leinhardt dan Smith (1985)  dikutip Good dan Brophy (1991) menyimpulkan adanya dua pengetahuan yang patut dipahami guru agar pengajaranya lebih efektif, yaitu (1) subject matter knowledge, dan (2) actionsystem knowledge. Yang pertama mencakup informasi spesifik yang dibutuhkan untuk menyajikan isi pelajaran, sedangkan yang kedua menyangkut pengetahuan siapa dan bagaimana anak belajar dan berkembang; bagaimana kelas dikelola; bagaimana informasi/konsep diterangkan; dan bagaimana tugastugas secara efektif diberikan. Menoleh dasar psikologis anak untuk kepentingan pengelolaan kelas.  Kita bisa saja berdiskusi panjang lebar:  apakah guru-guru pada MI dan MTs selama ini memahami betul siapa anak didik itu? Dengan kata lain, dilihat dari perkembangan fisiknya/motoriknya, sosial/emosi/moralnya, dan bahasanya/kognisinya, siapakah mereka itu sebenarnya? Lalu bagaimana mereka itu belajar? Ambil saja satu contoh bahwa anak usia MI itu secara sosial sedang berkembang kompetensi-kompetensi sosialnya yang positif dan produktif, seperti kemampuan bekerjasama, kesadaran kompetisi, menghargai karya orang lain, toleran, kekeluargaan, dan perkembangan aspek budaya lainnya (Johar: 1998/1999). 
Dalam hubungan ini prinsip yang relevan untuk suatu pengelolaan kelas adalah guru setiap harinya menyediakan kesempatan untuk anak bekerja/belajar secara kelompok. Coba kita pikirkan lebih lanjut, lebih detail dan mungkin lebih radikal: bentuk meja-kursi atau bangku yang bagaimanakah yang memungkinkan anak belajar secara kelompok setiap harinya di dalam kelas itu. Apakah bentuk bangku (meja-kuri yang disatukan konstruksinya) yang keras dan berat, terbuat dari kayu jati warisan pengaruh Zaman Penjajahan Belanda itu masih relevan untuk memenuhi tuntutan kegiatan belajar kelompok anak. Saya lebih  suka mengatakan bentuk bangku semacam itu sebagai bangku zaman tai kotok di lebuan. Artinya, bangku itu sudah out of date. Hal lain yang mendesak patut guru pahami adalah bagaimana anak itu sesungguhnya belajar.Ambil satu pandangan yang lebih kontemporer (faham konstruktivistik) dari Piaget. Piaget berpendapat bahwa anak itu seorang pelajar yang aktif. Mereka membentuk atau menyusun pengetahuan mereka sendiri pada saat mereka menyesuaikan pikirannya: sebagaimana terjadi ketika mereka mengeksplorasi lingkungannya untuk kemudian tumbuh pemikiran-pemikiran logisnya (Johar: 1998/1999).
Pendapat di atas mengisyaratkan antara lain bahwa guru penting memberi kebebasan kepada anak; dan kelas sepatutnya merupakan lingkungan yang dapat dieksplorasi anak secara efektif. Pertanyaan kritis lain bisa diungkapkan: apakah guru-guru yang masih feodalistik mampu berubah dan ikhlas memberi kebebasan kepada anak didiknya untuk belajar melalui eksplorasi lingkungan. Lingkungan kelas yang bagaimana yang memberi kebebasan dan memungkinkan anak melakukan eksplorasi semacam itu. Apkah kelas-kelas yang typical dengan meja-kursi yang berderet dan miskin akan manipulative learning materials bisa kondusif atas gairan proses belajar dan pencapaian prestasi belajar yang tinggi. Satu  hal  lagi: Bagaimana respon kita atas  pendapat  Power  (1976)  yang dikutip  Good  dan  Brophy (1991) tentang adanya tipe anakdi dalam kelas. Kenyataan itu tentu saja menghendaki adanya perlakuan-perlakuan guru yang variatif dalam mengembangkan metodologi pengajaran sekaligus pengelolaan kelasnya. Silahkah renungkan.
a.    Successful students
Anak bertipe ini berorientasi pada tugas dan sukses secara akademik dan bersifat kooperatif. Mereka itu selalu berpartisipasi aktif dalam pengajaran, selalu ingin melengkapi dan mengoreksi tugastugasnya serta kreatif dalam merespon masalah-masalah disiplin. Mereka itu menyukai sekolahnya dan disukai guru -guru dan teman-temannya.
b.    Social students
Anak dengan tipe ini lebih berorientasi secara sosial daripada berorientasi tugas. Mereka memiliki kemampuan untuk mencapai suatu  prestasi  dengan cara berteman  daripada mengerjakan tugasnya. Mereka cenderung lebih banyak teman dan menjadi  populer di kalangan teman-temannya. Namun demikian, anak-anak tipe ini kadang kurangdisukai guru-guru karena frekuensi sosialisasi mereka menimbulkan masalah manajemen.
c.    Dependent students
Anak tipe demikian memandang guru sebagai pihak yang suka memberi dukungan dan bantuan. Mereka sering meminta tambahan penjelasan dan pertolongan lebih dari yang lain. Guru -guru umumnya peduli atas kemajuan belajar naak-anak demikian dan bersedia memberi bantuan berikutnya. Teman-temannya kadang cemburu dan menolak kehadiran mereka karena mereka dipandang tidak matang secara sosial.
d.   Alienated students
Tipe ini menunjukkan anak yang malas hingga potensial untuk tinggal kelas atau drop-out. Secara ekstrim anak demikian menolak untuk bersekolah dan berbagai hal yang diwajibkan sekolah kepadanya. Beberapa di antara mereka mengembangkan permusuhan dan menciptakan kekacauan melalui agresi dan penyerangan. Mereka kadang menduduki jari kedua tangannya di kelaS dan menolak untuk berpartisipasi. Guru biasanya menolak anak yang memiliki tipe ini dan bersikap acuh tak acuh atas ekspresi pasif mereka.
e.    Phantom students
Tipe anak demikian memiliki latar belakang yang kurang menguntungkan.  Merekapun  kurang  mendapat perhatian keluarganya, sehingga kadang mereka itu  pemalu, sering ketakutan, gugup dan berdiam diri. Mereka bekerja namun tidak responsif atau aktif. Merekapun bukan sukarelawan tetapi juga mereka bukan pencipta kekacauan.  Mereka itu pasif. Guru dan teman-temannya biasanya tidak mengetahui bahwa kondisi mereka sekalipun mereka itu anak baik atau berpikir untuk berinteraksi dengannya. Dasar psikologis di atas sengaja disinggung untuk menunjukkan betapa hal itu memiliki implikasi langsung terhadap pekerjaan guru mengelola kelasnya. Brooks dan Brooks (1993: 17) mengembangkan dasar   psikologis itu ke dalam pemahaman paradigma kontras antara traditional classrooms dan constructivist classrooms (lihat lampiran).


Jelas kiranya bahwa dasar psikologis itu menekankan kepentingan pendidikan anak. Oleh karenanya missi utama yang dikembangkan untuk mengelola kelas yang efektif adalah (1) tersedianya lingkungan belajar yang mendukung gairah proses belajar dan (2) banyaknya keterlibatan (waktu yang dihabiskan) anak dalam aktivitas belajar sehingga mendukung   pencapaian prestasi belajar yang tinggi.
Adapun tujuan pengelolaan kelas dikemukaka Dirjen PUOD dan Dirjen Dikdasmen (1996) yang dikutip Rachman (1998/1999: 15), adalah:
a.       Mewujudkan kondisi kelas baik sebagai lingkungan belajar ataupun sebagai kelompok belajar yang memungkinkan berkembangnya kemampuan masing-masing siswa.
b.      Menghilangkan berbagai hambatan yang merintangi interaksi belajar yang efektif.
c.       Menyediakan fasilitas atau peralatan dan mengaturnya hingga kondusif bagi kegiatan belajar siswa yang sesuai dengan tuntutan pertumbuhan dan perkembangan sosial, emosional dan intelektualnya.
d.      Membina perilaku siswa sesuai dengan latar belakang sosial, ekonomi, budaya dan keindividualannya.
Kali ini kita mencoba mendiskusikan arti pengelolaan kelas. Tentu saja banyak pengertian atau definisi mengenai pengelolaan kelas ini. Namun demikian, dari beberapa pengertian berikut (FIP IKIP Bandung: 1999):
a.       Pengelolaan kelas merupakan seperangkat kegiatan guru untuk menciptakan dan mempertahankan ketertiban suasana kelas.
b.      Pengelolaan kelas merupakan seperangkat kegiatan guru untuk memaksimalkan kebebasan siswa.
c.       Pengelolaan kelas merupakan seperangkat kegiatan guru untuk memgembangkan tingkah laku siswa yang diinginkan dan mengurangi atau meniadakan tingkah laku yang tidak diinginkan.
d.      Pengelolaan kelas merupakan seperangkat kegiatan guru untuk mengembangkan hubungan interpersonal yang baik dan hubungan soioemosional kelas yang positif.
e.       Pengelolaan kelas merupakan seperangkat kegiatan guru untuk menumbuhkan dan mempertahankan organisasi kelas yang efektif.
Pengertian demikian menerangkan bahwa pengelolaan  kelas merupakan seperangkat kegiatan guru untuk mengembangkan tingkah laku  siswa  yang diinginka dan mengurangi atau meniadakan tingkah laku yang tidak diinginkan,  mengembangkan hubungan interpersonal dan iklim sosio-emosional yang positif serta  mengembangkan dan mempertahankan organisasi kelas  yang efektif dan  produktif. Semua pengertian pengelolaan kelas di muka berlaku.
Beberapa asumsi untuk mengembangkan prinsip-prinsip umum suatu pengelolaan kelas yang baik. Asumsi berikut  dikembangkan oleh Good dan Brophy (1991: 199), yaitu:
a.       Anak-anak itu suka mengikuti aturan karena memang mereka itu mengerti dan menerimanya.
b.      Masalah disiplin kelas dapat dikurangi manakala si anak terlibat secara teratur dalam aktivitas (belajar) yang bermakna yang mendorong minat dan sikapnya.
c.       Manajemen atau pengelolaan (kelas) hendaklah lebih didekati dari tujuan memaksimalkan atau menghabiskan banyaknya waktu anak untuk terlibat dalam kegiatan produktif; daripada mendasarkan pada sudut pandangan yang negatif menekankan pengawasan atas perilaku anak yang menyimpang, dan
d.      Tujuan guru adalah mengembangkan self control dalam diri anak dan bukan semata-mata melakukan pengawasan yang menekan atas diri mereka.
Berdasarkan asumsi-asumsi di atas, dapatlah dikembangkan prinsipprinsip pengelolaan kelas sebagai berikut:
a.       Bahwa setiap aturan dan prosedur yang mengikat dan ditempuh haruslah direncanakan terlebih dahulu sebelum hal itu dapat dillangsungkan.
b.      Aturan-aturan yang ditetapkan dan prosedur yang ditempuh itu harus jelas dan dibutuhkan.
c.       Biarkan anak mengasumsikan tanggung jawabnya secara independent.
d.      Kurangi gangguan dan keterlambatan atau penundaan.
e.       Rencanakan kegiatan belajar yang independent atau individual dan juga kegiatan belajar kelompok.
Prinsip-prinsip lainnya dikembangkan Bolla (1985: 5-6), yaitu:
a.       Dalam setiap kegiatan pengelolaan kelas (termasuk belajar mengajar), antusias dan kehangatan guru harus ditunjukkan
b.      Setiap tutur kata, tindakan dan tugas-tugas yang diberikan kepada anak menantang;  tidak  menimbulkan kebosanan tetapi justeru menimbulkan gairah belajar yang produktif.
c.       Penggunaan variasi dalam alat, media, metoda dan gaya berinteraksi adalah kunci sukses pengelolaan kelas.
d.      Kewaspadaan akan jalannya proses kegiatan belajar-mengajar dari kemungkinan  terjadinya berbagai gangguan mengharuskan guru bersikapdan bertindak luwes.
e.       Biasakanlah pemusatan pikiran secara positif dan menghindar pada  hal-hal yang negatif.
f.       Pengelolaan kelas tidak bisa lepas dari kepentingan anak untuk berdisiplin atas dirinya  sendiri. Karena itu guru sepantasnya berdisiplin pada dirinya sendiri agar di hadapan anak menjadi teladan.
Beberapa pendekatan untuk pengelolaan kelas yang dapat dipelajari dari berbagai sumber,  dapatlah dikemukakan paling tidak mencakup pendekatan perubahan tingkah laku,  pendekatan penciptaan iklim sosio-emosional, pendekatan proses kelompok,  dan  pendekatan  eklektik  (Entang,  Joni,  dan Prayitno: 1985).
Pengelolaan kelas menurut  pendekatan ini mendasarkan pada asumsi bahwa:
a.    Semua tingkah laku anak, yang baik  atau  yang  kurang  baik, merupakan  hasil  proses belajar.
b.    Terdapat proses  psikologis  yang fundamental untuk menjelaskan terjadinya proses belajar yang dimaksud.
Adapun proses  psikologis yang dimaksudkan itu adalah:
a.    Penguatan positif atau positive reinforcement.
b.    Hukuman,
c.    Penghapusan, dan
d.   Penguatan negatif atau negative reinforcement.  Menurut pendekatan ini, untuk membina suatu tingkah laku anak yang dikehendaki maka guru dituntut untuk memberi penguatan positif atau memberi dorongan positif sebagai ganjaran dan guru  dituntut  pula  untuk  memberi  penguatan  negatif  yakni  menghilangkan hukuman  atau  stimulus  negatif. Selanjutnya untuk mengurangi tingkah laku yang  tidak  dikehendaki, guru dituntut untuk menggunakan  hukuman   atau pemberian  stimulus  negatif,  dan  melakukan  penghapusan  atau  pembatalan pemberiaan ganjaran.
pengelolaan kelas menurut pendekatan ini mendasarkan pada asumsi bahwa :
a. Proses  pengajaran yang efektif mensyaratkan iklim sosio-emosional yang baik atau adanya jalinan hubungan inter-personal yang baik di antara pihak yang terlibat dengan proses pengajaran itu, dan
b. Guru merupakan key-persondalam pembentukan iklim sosio-emosionalyang dimaksudkan.Banyak  saran  yang  dapat  dipelajari  guna membantu guru  menciptakan iklim soio-emosional yang kondusif bagi efektivitas pengajaran. Namun demikian beberapa hal  yang  dianggap penting  adalah  sikap  dan  kebiasaan  guru  untuk tampil  jujur, tulus dan  terbuka; bersemangat, dinamis dan enerjik. Hal lainnya adalah kesadaran  diri; menerima dan  mengerti siapa anak didiknya dengan penuh rasa simpati. Selain itu yang tidak kurang  pentingnya adalah keterampilan berkomunikasi secara efektif, kemampuan mengambil  keputusan dengan cepat dan akurat, kemampuan mengembangkan prosedur pemecahan  masalah, kemampuan mengembangkan rasa tanggung jawab sosial, dan kemampuan mengembangkan iklim dan suasana belajar yang demokratis. terbuka
Pengelolaan kelas menurut pendekatan ini mendasarkan pada asumsi:
a.    Pengalaman belajar (bersekolah) berlangsung dalam konteks atau kelompok sosial, dan
b.    Tugas guru yang pokok adalah membina dan kelompok yang produktif dan kohesif.
Di antara banyaknya saran yang patut diperhatikan dalam pendekatan ini, Schmuck dan Schmuck yang dikutip  Entang, Joni  dan  Prayitno (1985) berpendapat bahwa unsur-unsur  pengelolaan  kelas  dalam  rangka  pendekatan proses kelompok mencakup: (1) harapan yang timbal balik yang realistik dan jelas antara siswa dan guru, (2) kepemimpinan yang mengarahkan kegiatan kelompok  untuk  pencapaian tujuan-tujuan, (3) pola dan ikatan persahabatan terbentuk yang mendukung  kelompok semakin produktif, (4) terdapat pemeliharaan norma kelompok yang semakin  produktif, menggantikan norma yang kurang produktif, (5) terjalin komunikasi yang efektif  antar  anggota kelompok  yang  terlibat,  dan  (6)  terdapat  derajat  keterikatan yang terhadap kelompok secara keseluruhan (cohesiveness).
4.  Pendekatan Eklektik
Pendekatan ini mendasarkan pada pemahaman atas adanya kekuatan dan kelemahan dari kesemua pendekatan di muka. Pendekatan eklektik lebih menunjukkan suatu penggunaan kombinasi dari beberapa pendekatan ketimbang menggunakan satu pendekatan secara utuh.  Jadi dalam prakteknya, guru itu menggabungkan semua aspek terbaik dari pendekatan-pendekatan yang  digunakannya yang secara filosofis, teoritis dan psikologis dibenarkan (Rachman, 1998/1999: 79).Oleh karena itu menurut dia syarat yang  perlu  dipenuhi  guru  dalam menerapkan pendekatan ini, adalah: (1) menguasai pendekatan-pendekatan pengelolaan kelas, dan (2) dapat memilih pendekatan yang tepat  dan melaksanakan  prosedur  yang  sesuai  dengan  masalah  pengelolaan  kelas  yang dihadapi.
Prosedur itu merupakan langkah-langkah yang dapat dilakukan guru dalam mengelola kelas.Prosedur ini menyangkut dimensi pencegahan (preventif) dan dimensi pengatasian/penyembuhan (kuratif).
1. Prosedur Dimensi Pencegahan
Prosedur pencegahan merupakan tindakan yang dilakukan guru dalam mengatur anak didik, lingkungan dan peralatan kelas, serta format pembelajaran sehingga mendukung terhdap  suasana  belajar  yang  menyenangkan dan pencapaian prestasi belajar yang tinggi. Dengan kata lain, prosedur pencegahan ini  menyangkut  segala  tindakan  guru sebelum tingkah  laku  yang menyimpang dan mengganggu proses pengajaran muncul. Keberhasilan dalam tindakan pencegahan merupakan salah satu indikator keberhasilan manajemen kelas. Konsekuensinya adalah guru dalam menentukan langkah-langkah dalam rangka manajemen kelas harus merupakan langkah yang efektif dan efisien untuk jangka pendek maupun jangka panjang.
Adapaun langkah-langkah pencegahannya (Rahman:  1998) sebagai berikut:
a. Peningkatan kesadaran diri sebagai guru
Langkah peningkatan kesadaran diri sebagai guru merupakan langkah yang strategis dan mendasar, karena dengan dimilikinya kesadaran ini akan meningkatkan rasa tanggung jawab dan rasa memiliki yang merupakan modal dasar bagi guru dalam melaksanakan tugasnya.  Implikasi adanya kesadaran diri sebagai guru akan tampak pada sikap guru yang demokratis, sikap yang stabil, kepribadian yang harmonisdan berwibawa. Penampakan sikap seperti  itu  akan  menumbuhkan  respon  dan  tanggapan  positif  dari peserta didik.
b. Peningkatan kesdaran peserta didik
Interaksi positif antara guru dan peserta didik dalam proses pembelajaran terjadi apabila dua kesadaran (kesadaran guru dan peserta didik) bertemu. Kurangnya kesadaran peserta didik akan menumbuhkan sikap suka marah, mudah tersinggung, yang pada gilirannya memungkinkan peserta didik melakukan tindakan-tindakan yang kurang terpuji yang  dapat mengganggu kondisi  optimal dalam rangka  pembelajaran. Untuk meningkatkan  kesadaran peserta didik, maka kepada  mereka perlu melaksanakan hal-hal berikut : (1) memberitahukan akan hak dan kewajibannya sebagai peserta didik,  (2) memperhatikan  kebutuhan, keinginan  dan dorongan para peserta didik,  (3) menciptakan suasana saling pengertian, saling  menghormatidan  rasa keterbukaan antara guru dan peserta didik.
c.       Sikap jujur dan tulus dari guru
Guru hendaknya bersikap jujur dan tulus terhadap peserta didik. Sikap ini mengandung makna bahwa guru dalam segala tindakannnya tidak boleh berpura-pura bersikap dan  bertindak apa adanya. Sikap dan tindak laku seperti itu sangat membantu dalam mengelola kelas. Guru dengan sikap dan kepribadiannya sangat mempengaruhi lingkungan belajar,  karena tingkah laku, cara menyikapi dan tindakan guru merupakan stimulus yang akan direspon atau diberikan reaksi oleh  peserta didik. Kalau stimuli itu positif maka  respon  atau  reaksinya juga positif. Sebaliknya akalu stimuli  itu  negatif maka  respon  atau  rekasi  yang  akan  muncul  adalah  negatif.  Sikap  hangat, terbuka, mau mendengarkan harapan atau keluhan para siswa, akrab dengan guru akan membuka kemungkinan terjadinya interaksi dan komunikasi wajar antara guru dan peserta didik.
d.  Mengenal dan mengenal alternatif pengelolaan
Untuk megenal dan menemukan alternatif pengelolaan, langkah ini menuntut guru:(1)  melakukan tindakan identifikasi berbagai penyimpangan tingkah laku peserta didik yang  sifatnya invidual maupun kelompok. Penyimpangan perilaku peserta didik baik individual  maupun  kelompok  tersebut  termasuk penyimpangan  yang  disengaja  dilakukan  peserta  didik yang hanya sekedar untuk menarik perhatian guru atau teman-temannya. (2) mengenal berbagai pendekatan dalam manajemen kelas. Guru hendaknya berusaha menggunakan pendekatan manajemen yang dianggap tepat untuk mengatasi suatusituasi atau  menggantinya  dengan pendekatan yang dipilihnya,  (3) mempelajari pengalaman guru-guru  lainnya yang  gagal atau berhasil sehingga dirinya memiliki alternatif yang  bervariasi dalam menangani berbagai manajemen kelas.
e.  Menciptakan kontrak sosial
Penciptaan kontrak sosial pada dasarnya berkaitan dengan “standar tingkah laku” yang  diharapkan seraya memberi gambaran tentang fasilitas beserta terbatasannya dalam  memenuhi kebutuhan peserta didik. Pemenuhan kebutuhan tersebut sifatnya individual  maupun kelompok  dan  memenuhi tuntutan dan kebutuhan sekolah. Standar tingkah laku  ini dibentuk melalui kontraksosial antara sekolah/guru dan peserta didik. Norma atau nilai  yang turunnya dari atas dan  tidak dari bawah, jadi sepihak, maka akan terjadi bahwa norma itu kurang dihormati dan ditaati. Oleh sebab itu, dalam rangka mengelola kelas norma berupa  kontrak sosial (tata  tertib) dengan  sangsinya yang mengatur kehidupan di dalam kelas,  perumusannya harus dibicarkan atau disetujui oleh guru dan peserta didik. Kebiasaan yang terjadi dewasa ini bahwa aturan-aturan sebagai standar tingkah laku berasal dari atas (sekolah/guru).  Para peserta didik dalam hal ini hanya menerima saja apa yang ada. Mereka tidak memiliki pilihan lain untuk menolaknya. Konsekuensi terhadap kondisi demikianakan  memungkinkan timbulnya persoalanpersoalan dalam pengelolaan kelas karena para peserta  didik tidak merasa turut membuat serta memiliki peraturan sekolah yang sudah ada tersebut.
Prosedur pengelolaan kelas yang bersifat kuratif merupakan tindakan yang dilakukan guru sebagai respon untuk mengatasi tingkah laku anak yang menyimpang atau mengganggu itu. Dalam hal ini, guru dituntut untuk berusaha menumbuhkan kesadaran anak dan tanggung jawab memperbaiki tingkah lakunya sehingga yang bersangkutan bisa kembali berpartisipasi aktif dalam pengajaran.
Usahan yang bersifat penyembuhan (kuratif) mengikuti langkah-langkah berikut:
a. Mengidentifikasi masalah
Mengidentifikasi masalahda langkah ini, guru mengenal atau mengetahui masalah-masalah pengelolaan kelas yang timbul dalam kelas. Berdasar masalah tersebut guru  mengidentifikasi jenis penyimpangan sekaligus mengetahui latar belakang yang membuat pesertadidik melakukan penyimpangan tersebut.
b. Menganalisis masalah
Pada langkah ini, guru menganalisis penyimpangan peserta didik dan menyimpulkan latar belakang dan sumber-sumber dari penyimpangan itu.Selanjutnya menentukan alternatif-alternatif penanggulangannya.
c. Menilai alternatif pemecahan masalah
Pada langkah ini guru menilai dan memilih alternatif pemecahan masalah yang dianggap tepat untuk menanggulangi masalah.
d. Mendapatkan balikan
Pada langkah ini guru melaksanakan monitoring, dengan maksud menilai keampuhan pelaksanaan dari alternatif pemecahan yang dipilih untuk mencapai sasaran yang sesuai dengan yang direncanakan. Kegiatan kilas balik ini dapat dilaksanakan dengan mengadakan pertemuan dengan para peserta didik. Maksud pertemuan perlu dijelaskan oleh guru  sehingga peserta didik mengetahui serta menyadari bahwa pertemuan diusahakan dengan  dengannuh ketulusan, semata-mata untuk  perbaikan, baik untuk peserta didik maupun sekolah.
Bolla, John I; Joni, T.Raka dan Wardani, I.G.A.K.  (Ed.).  1985.
Keterampilan Mengelola Kelas.  Jakarta:  Depdikbud.  Ditjen.  Dikti.  Proyek
Pengembangan LPTK.
Brooks, Jacqueline Grennon; Brooks, Martin G.  1993.  In Search of
Understanding: The Case Constructivist Classrooms.  Alexandria,  Virginia:
ASCD.
Charbonneau,  Manon  P.;  Reider,  Barbara  E.  1995.  The Integrated
Elementary Classroom: A Developmental Model of Education for The 21
st Century. Boston: Allyn and Bacon.
Entang, M; Joni, T. Raka; Prayitno K. 1985. Pengelolaan Kelas. Jakarta:
Depdikbud. Ditjen. Dikti. Proyek Pengembangan LPTK.
Good, Thomas L.;  Brophy,  Jere  E.  1991.  Looking in Classrooms.  Fifth
Edition. New York: Harper Collins Publishers.
Pengelolaan Kelas, dalam Materi Program Akta Mengajar III/IV.
1999. Bandung: Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP.
Rachman,  Maman.1998/1999.  Manajemen  Kelas.  Depdikbud.  Ditjen.
Dikti. Proyek Pendidikan Guru Sekolah Dasar.
Sumantri, Mulyani; Permana, Johar.  1998/1999.  Strategi Belajar
Mengajar.  Jakarta:  Depdikbud., Ditjen  Dikti.,  Proyek  Pendidikan  Guru  Sekolah

Dasar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ucapkan Salam