BAB II
Seorang guru
sering kurang menyadari mengenai banyaknya kejadian yang melingkupi kehidupan
kelasnya. Kelas bukanlah sekedar sekumpulan anak yang melakukan kegiatan belajar
di bawah tanggung jawab guru dan sematamata dibatasi oleh keempat
dinding/tembok pembatas. Kelas
sesungguhnya merupakan lingkungan yang kompleks dan berbagai peristiwa bisa
terjadi. Berikut merupakan aspek-aspek kehidupan kelas dari Doyle (1986) dalam Good
dan Brophy (1991: 2) yang patut dipelajari guru terutama untuk bertindak selaku
managers:
1.
Multidimensionality.
Terdapat tugas yang berbeda dan berbagai peristiwa muncul di kelas.
Laporan kegiatan belajar dan jadwal penyelesaiannya mesti dapat guru
kendalikan. Saat anak bekerja haruslah
terkontrol. Pekerjaannya harus dapat
dikumpulkan dan dievaluasi. Satu peristiw tertentu sering membawa berbagai
akibat. Saat guru menunggu seorang anak untuk menjawab satu pertanyaan saja,
pertanyaan lain dari anak lainnya bisa muncul. Hal itu dapat memberi pengaruh
positif tetapi tidak mustahil memberi pengaruh negatif sehingga kegiatan
belajar anak berlangsung lambat sampai waktunya beristirahat.
2.
Simultaneity.
Berbagai kejadian secara bersamaan sering pula muncul di dalam
kelas. Saat suatu diskusi berlangsung, seorang
guru tidak hanya mendengarkan dan membantu anak memberikan jawaban tetapi juga
guru dituntut untuk memperhatikan anak lainnya yang tidak memberikan respon
agar suasana kelas tetap terkendali dan berlangsung kondusif dan efektif.
3.
Immediacy.
Langkah dari berbagai peristiwa yang terjadi di kelas sesungguhnya
berlangsung cepat. Setiap anak umumnya menghendaki respon yang cepat atas
kebutuhan belajarnya. Mengevaluasi keterlibatan anak dalam proses pengajaran,
dalam satu jam saja, guru sangat mungkin harus melakukannya beberapa kali.
Tuntutan untuk memperhatikan kegiatanbelajar anak secara individual dan beralih
pada kegiatan anak secara kelompok/klasikal, akan terus silih berganti dalam
frekuensi yang tinggi dan berlangsung cepat.
4.
Unpredictable and public classroom climate
Berbagai peristiwa sering muncul di dalam kelas melalui cara yang tidak
terduga oleh guru. Apa yang terjadi pada diri anak tertentu sering dapat
dilihat dengan cepat oleh anak-anak yang lain, tetapi tidak dengan cepat dapat
dipelajari guru. Anak-anak sering pula dapat menangkap apa yang guru rasakan
menyangkut tindakannya atas anak lain, dan mereka memberi respon yang tidak
terduga terhadap gurunya. Interaksi demikian sering membentuk suatu iklim kelas
yang kurang menyenangkan dan tidak lagi kondusif atas proses pengajaran.
5.
History
Setelah suatu penyelenggaraan pengajaran berlangsung beberapa minggu
atau beberapa bulan, norma-norma yang berlaku umum di kelasterbentuk dan
berbagai pengertian berkembang.
Peristiwa yang muncul di awal tahun menjadi pembuka (bisa positif atau
negatif) bagi terjadinya peristiwa-peristiwa berikutnya. Selanjutnya, hal itu berpengaruhi atas fungsi
kelas di akhir tahun. Mengingat hal di atas, maka kelas sepantasnya dipandang
sebagai tempat untuk tumbuh dan berkembangnya semua potensi anak. Karena itu
kelas sepantasnya dikelola dengan baik sehingga nyaman dan menyenangkan bagi
kegiatan belajar anak. Kelas septutnya rapi, bersih, sehat, tidak lembab, cukup
cahaya, adanya sirkulasi udara, perabotnya tertat baik, dan jumlah siswanya tidak
terlalu banyak. Untuk menunjang kenyamanan dan rasa senang anak dalam belajar,
selain berbagai aspek kehidupan kelas di muka harus dipahami guru, juga
beberapa hal berikut tidak boleh luput dari perhatian mereka, seperti tata ruang
kelas,dan perabotnya: papan tulis dan penghapusnya, meja kursi guru, meja kursi
anak, lemari kelas, jadwal pelajaran, papan absensi, daftar piket kelas,
kalender pendidikan, gambar-gambar, tempat cuci tangan dan lap tangan, tempat
sampah, sapu lidi, sapu ijuk, sapu moceng, pajangan pekerjaan anak, kapur, dan
lain-lainnya.
Sesungguhnya
keberhasilan pengajaran tidaklah dapat dipisahkan dari keseriusan usaha dan
semangat guru mengelola kelasnya. Good dan Brophy (1991: 2) mensinyalir bahwa kegagalan guru mengembangkan
potensi dirinyadalam pengajaran bukanlah karena mereka tidak menguasai mata
pelajaran tetapi mereka itu tidak mengerti siapa murid-muridnya dan apa kelas
itu sesungguhnya. Leinhardt dan Smith (1985)
dikutip Good dan Brophy (1991) menyimpulkan adanya dua pengetahuan yang
patut dipahami guru agar pengajaranya lebih efektif, yaitu (1) subject matter
knowledge, dan (2) actionsystem knowledge. Yang pertama mencakup informasi
spesifik yang dibutuhkan untuk menyajikan isi pelajaran, sedangkan yang kedua
menyangkut pengetahuan siapa dan bagaimana anak belajar dan berkembang;
bagaimana kelas dikelola; bagaimana informasi/konsep diterangkan; dan bagaimana
tugastugas secara efektif diberikan. Menoleh dasar psikologis anak untuk
kepentingan pengelolaan kelas. Kita bisa
saja berdiskusi panjang lebar: apakah
guru-guru pada MI dan MTs selama ini memahami betul siapa anak didik itu?
Dengan kata lain, dilihat dari perkembangan fisiknya/motoriknya, sosial/emosi/moralnya,
dan bahasanya/kognisinya, siapakah mereka itu sebenarnya? Lalu bagaimana mereka
itu belajar? Ambil saja satu contoh bahwa anak usia MI itu secara sosial sedang
berkembang kompetensi-kompetensi sosialnya yang positif dan produktif, seperti
kemampuan bekerjasama, kesadaran kompetisi, menghargai karya orang lain,
toleran, kekeluargaan, dan perkembangan aspek budaya lainnya (Johar:
1998/1999).
Dalam hubungan
ini prinsip yang relevan untuk suatu pengelolaan kelas adalah guru setiap harinya
menyediakan kesempatan untuk anak bekerja/belajar secara kelompok. Coba kita
pikirkan lebih lanjut, lebih detail dan mungkin lebih radikal: bentuk
meja-kursi atau bangku yang bagaimanakah yang memungkinkan anak belajar secara kelompok
setiap harinya di dalam kelas itu. Apakah bentuk bangku (meja-kuri yang
disatukan konstruksinya) yang keras dan berat, terbuat dari kayu jati warisan
pengaruh Zaman Penjajahan Belanda itu masih relevan untuk memenuhi tuntutan
kegiatan belajar kelompok anak. Saya lebih
suka mengatakan bentuk bangku semacam itu sebagai bangku zaman tai kotok
di lebuan. Artinya, bangku itu sudah out of date. Hal lain yang mendesak patut
guru pahami adalah bagaimana anak itu sesungguhnya belajar.Ambil satu pandangan
yang lebih kontemporer (faham konstruktivistik) dari Piaget. Piaget berpendapat bahwa anak itu seorang
pelajar yang aktif. Mereka membentuk atau menyusun pengetahuan mereka sendiri
pada saat mereka menyesuaikan pikirannya: sebagaimana terjadi ketika mereka mengeksplorasi
lingkungannya untuk kemudian tumbuh pemikiran-pemikiran logisnya (Johar:
1998/1999).
Pendapat di atas mengisyaratkan antara lain bahwa guru penting memberi kebebasan
kepada anak; dan kelas sepatutnya merupakan lingkungan yang dapat dieksplorasi
anak secara efektif. Pertanyaan kritis lain bisa diungkapkan: apakah guru-guru
yang masih feodalistik mampu berubah dan ikhlas memberi kebebasan kepada anak
didiknya untuk belajar melalui eksplorasi lingkungan. Lingkungan kelas yang
bagaimana yang memberi kebebasan dan memungkinkan anak melakukan eksplorasi
semacam itu. Apkah
kelas-kelas yang typical dengan meja-kursi yang berderet dan miskin akan
manipulative learning materials bisa kondusif atas gairan proses belajar dan
pencapaian prestasi belajar yang tinggi. Satu
hal lagi: Bagaimana respon kita
atas pendapat Power
(1976) yang dikutip Good
dan Brophy (1991) tentang adanya
tipe anakdi dalam kelas. Kenyataan itu tentu saja menghendaki adanya perlakuan-perlakuan
guru yang variatif dalam mengembangkan metodologi pengajaran sekaligus pengelolaan
kelasnya. Silahkah renungkan.
a.
Successful students
Anak bertipe ini berorientasi pada tugas dan sukses secara akademik
dan bersifat kooperatif. Mereka itu selalu berpartisipasi aktif dalam pengajaran,
selalu ingin melengkapi dan mengoreksi tugastugasnya serta kreatif dalam merespon
masalah-masalah disiplin. Mereka itu menyukai sekolahnya dan disukai guru -guru
dan teman-temannya.
b. Social students
Anak dengan tipe ini lebih berorientasi secara
sosial daripada berorientasi tugas. Mereka memiliki kemampuan untuk mencapai
suatu prestasi dengan cara berteman daripada mengerjakan tugasnya. Mereka
cenderung lebih banyak teman dan menjadi
populer di kalangan teman-temannya. Namun demikian, anak-anak tipe ini
kadang kurangdisukai guru-guru karena frekuensi sosialisasi mereka menimbulkan
masalah manajemen.
c.
Dependent students
Anak tipe demikian memandang guru sebagai pihak yang suka memberi
dukungan dan bantuan. Mereka sering meminta tambahan penjelasan dan pertolongan
lebih dari yang lain. Guru -guru umumnya peduli atas kemajuan belajar naak-anak
demikian dan bersedia memberi bantuan berikutnya. Teman-temannya kadang cemburu
dan menolak kehadiran mereka karena mereka dipandang tidak matang secara
sosial.
d.
Alienated students
Tipe ini menunjukkan anak yang malas hingga potensial untuk tinggal
kelas atau drop-out. Secara ekstrim anak demikian menolak untuk bersekolah dan
berbagai hal yang diwajibkan sekolah kepadanya. Beberapa di antara mereka
mengembangkan permusuhan dan menciptakan kekacauan melalui agresi dan
penyerangan. Mereka kadang menduduki jari kedua tangannya di kelaS dan menolak
untuk berpartisipasi. Guru biasanya menolak anak yang memiliki tipe ini dan
bersikap acuh tak acuh atas ekspresi pasif mereka.
e.
Phantom students
Tipe anak demikian memiliki latar belakang yang kurang menguntungkan. Merekapun
kurang mendapat perhatian
keluarganya, sehingga kadang mereka itu
pemalu, sering ketakutan, gugup dan berdiam diri. Mereka bekerja namun
tidak responsif atau aktif. Merekapun bukan sukarelawan tetapi juga mereka bukan
pencipta kekacauan. Mereka itu pasif. Guru
dan teman-temannya biasanya tidak mengetahui bahwa kondisi mereka sekalipun
mereka itu anak baik atau berpikir untuk berinteraksi dengannya. Dasar
psikologis di atas sengaja disinggung untuk menunjukkan betapa hal itu memiliki
implikasi langsung terhadap pekerjaan guru mengelola kelasnya. Brooks dan Brooks
(1993: 17) mengembangkan dasar psikologis
itu ke dalam pemahaman paradigma kontras antara traditional classrooms dan constructivist
classrooms (lihat lampiran).
Jelas kiranya
bahwa dasar psikologis itu menekankan kepentingan pendidikan anak. Oleh karenanya
missi utama yang dikembangkan untuk mengelola kelas yang efektif adalah (1) tersedianya
lingkungan belajar yang mendukung gairah proses belajar dan (2) banyaknya
keterlibatan (waktu yang dihabiskan) anak dalam aktivitas belajar sehingga mendukung pencapaian prestasi belajar yang tinggi.
Adapun tujuan pengelolaan
kelas dikemukaka Dirjen PUOD dan Dirjen Dikdasmen (1996) yang dikutip Rachman
(1998/1999: 15), adalah:
a.
Mewujudkan kondisi kelas baik sebagai lingkungan belajar ataupun
sebagai kelompok belajar yang memungkinkan berkembangnya kemampuan
masing-masing siswa.
b.
Menghilangkan berbagai hambatan yang merintangi interaksi belajar
yang efektif.
c.
Menyediakan fasilitas atau peralatan dan mengaturnya hingga
kondusif bagi kegiatan belajar siswa yang sesuai dengan tuntutan pertumbuhan
dan perkembangan sosial, emosional dan intelektualnya.
d.
Membina perilaku siswa sesuai dengan latar belakang sosial, ekonomi,
budaya dan keindividualannya.
Kali ini kita
mencoba mendiskusikan arti pengelolaan kelas. Tentu saja banyak pengertian atau
definisi mengenai pengelolaan kelas ini. Namun demikian, dari beberapa pengertian
berikut (FIP IKIP Bandung: 1999):
a.
Pengelolaan kelas merupakan seperangkat kegiatan guru untuk
menciptakan dan mempertahankan ketertiban suasana kelas.
b.
Pengelolaan kelas merupakan seperangkat kegiatan guru untuk memaksimalkan
kebebasan siswa.
c.
Pengelolaan kelas merupakan seperangkat kegiatan guru untuk
memgembangkan tingkah laku siswa yang diinginkan dan mengurangi atau meniadakan
tingkah laku yang tidak diinginkan.
d.
Pengelolaan kelas merupakan seperangkat kegiatan guru untuk mengembangkan
hubungan interpersonal yang baik dan hubungan soioemosional kelas yang positif.
e.
Pengelolaan kelas merupakan seperangkat kegiatan guru untuk
menumbuhkan dan mempertahankan organisasi kelas yang efektif.
Pengertian
demikian menerangkan bahwa pengelolaan
kelas merupakan seperangkat kegiatan guru untuk mengembangkan tingkah
laku siswa yang diinginka dan mengurangi atau meniadakan
tingkah laku yang tidak diinginkan,
mengembangkan hubungan interpersonal dan iklim sosio-emosional yang
positif serta mengembangkan dan
mempertahankan organisasi kelas yang
efektif dan produktif. Semua pengertian
pengelolaan kelas di muka berlaku.
Beberapa asumsi
untuk mengembangkan prinsip-prinsip umum suatu pengelolaan kelas yang baik.
Asumsi berikut dikembangkan oleh Good
dan Brophy (1991: 199), yaitu:
a.
Anak-anak itu suka mengikuti aturan karena memang mereka itu
mengerti dan menerimanya.
b.
Masalah disiplin kelas dapat dikurangi manakala si anak terlibat
secara teratur dalam aktivitas (belajar) yang bermakna yang mendorong minat dan
sikapnya.
c.
Manajemen atau pengelolaan (kelas) hendaklah lebih didekati dari tujuan
memaksimalkan atau menghabiskan banyaknya waktu anak untuk terlibat dalam
kegiatan produktif; daripada mendasarkan pada sudut pandangan yang negatif
menekankan pengawasan atas perilaku anak yang menyimpang, dan
d.
Tujuan guru adalah mengembangkan self control dalam diri anak dan
bukan semata-mata melakukan pengawasan yang menekan atas diri mereka.
Berdasarkan
asumsi-asumsi di atas, dapatlah dikembangkan prinsipprinsip pengelolaan kelas
sebagai berikut:
a.
Bahwa setiap aturan dan prosedur yang mengikat dan ditempuh
haruslah direncanakan terlebih dahulu sebelum hal itu dapat dillangsungkan.
b.
Aturan-aturan yang ditetapkan dan prosedur yang ditempuh itu harus jelas
dan dibutuhkan.
c.
Biarkan anak mengasumsikan tanggung jawabnya secara independent.
d. Kurangi gangguan dan keterlambatan atau penundaan.
e. Rencanakan
kegiatan belajar yang independent atau individual dan juga kegiatan belajar kelompok.
Prinsip-prinsip lainnya dikembangkan Bolla
(1985: 5-6), yaitu:
a. Dalam setiap kegiatan pengelolaan kelas (termasuk belajar mengajar),
antusias dan kehangatan guru harus ditunjukkan
b. Setiap tutur kata, tindakan dan tugas-tugas yang diberikan kepada anak menantang; tidak
menimbulkan kebosanan tetapi justeru menimbulkan gairah belajar yang
produktif.
c. Penggunaan variasi dalam alat, media, metoda dan gaya berinteraksi adalah
kunci sukses pengelolaan kelas.
d. Kewaspadaan akan jalannya proses kegiatan belajar-mengajar dari kemungkinan
terjadinya berbagai gangguan
mengharuskan guru bersikapdan bertindak luwes.
e. Biasakanlah pemusatan pikiran secara positif dan menghindar pada hal-hal yang negatif.
f. Pengelolaan kelas tidak bisa lepas dari kepentingan anak untuk berdisiplin
atas dirinya sendiri. Karena itu guru
sepantasnya berdisiplin pada dirinya sendiri agar di hadapan anak menjadi
teladan.
Beberapa pendekatan untuk pengelolaan kelas yang dapat dipelajari dari
berbagai sumber, dapatlah dikemukakan
paling tidak mencakup pendekatan perubahan tingkah laku, pendekatan penciptaan iklim sosio-emosional,
pendekatan proses kelompok, dan pendekatan
eklektik (Entang, Joni,
dan Prayitno: 1985).
Pengelolaan kelas menurut pendekatan ini mendasarkan pada asumsi bahwa:
a.
Semua tingkah laku anak, yang baik
atau yang kurang
baik, merupakan hasil proses belajar.
b.
Terdapat proses psikologis yang fundamental untuk menjelaskan terjadinya
proses belajar yang dimaksud.
Adapun
proses psikologis yang dimaksudkan itu
adalah:
a. Penguatan positif atau positive reinforcement.
b. Hukuman,
c. Penghapusan,
dan
d. Penguatan negatif atau negative reinforcement. Menurut pendekatan ini, untuk membina suatu
tingkah laku anak yang dikehendaki maka guru dituntut untuk memberi penguatan
positif atau memberi dorongan positif sebagai ganjaran dan guru dituntut
pula untuk memberi
penguatan negatif yakni
menghilangkan hukuman atau stimulus
negatif. Selanjutnya untuk mengurangi tingkah laku yang tidak
dikehendaki, guru dituntut untuk menggunakan hukuman
atau pemberian stimulus negatif,
dan melakukan penghapusan
atau pembatalan pemberiaan
ganjaran.
pengelolaan kelas menurut pendekatan ini mendasarkan pada asumsi
bahwa :
a. Proses pengajaran yang efektif
mensyaratkan iklim sosio-emosional yang baik atau adanya jalinan hubungan
inter-personal yang baik di antara pihak yang terlibat dengan proses pengajaran
itu, dan
b. Guru merupakan key-persondalam pembentukan iklim sosio-emosionalyang
dimaksudkan.Banyak saran yang
dapat dipelajari guna membantu guru menciptakan iklim soio-emosional yang
kondusif bagi efektivitas pengajaran. Namun demikian beberapa hal yang
dianggap penting adalah sikap
dan kebiasaan guru
untuk tampil jujur, tulus dan terbuka; bersemangat, dinamis dan enerjik.
Hal lainnya adalah kesadaran diri;
menerima dan mengerti siapa anak
didiknya dengan penuh rasa simpati. Selain itu yang tidak kurang pentingnya adalah keterampilan berkomunikasi
secara efektif, kemampuan mengambil keputusan
dengan cepat dan akurat, kemampuan mengembangkan prosedur pemecahan masalah, kemampuan mengembangkan rasa tanggung
jawab sosial, dan kemampuan mengembangkan iklim dan suasana belajar yang
demokratis. terbuka
Pengelolaan
kelas menurut pendekatan ini mendasarkan pada asumsi:
a.
Pengalaman belajar (bersekolah) berlangsung dalam konteks atau
kelompok sosial, dan
b.
Tugas guru yang pokok adalah membina dan kelompok yang produktif
dan kohesif.
Di antara
banyaknya saran yang patut diperhatikan dalam pendekatan ini, Schmuck dan Schmuck
yang dikutip Entang, Joni dan
Prayitno (1985) berpendapat bahwa unsur-unsur pengelolaan
kelas dalam rangka
pendekatan proses kelompok mencakup: (1) harapan yang timbal balik yang
realistik dan jelas antara siswa dan guru, (2) kepemimpinan yang mengarahkan
kegiatan kelompok untuk pencapaian tujuan-tujuan, (3) pola dan ikatan
persahabatan terbentuk yang mendukung kelompok semakin produktif, (4) terdapat
pemeliharaan norma kelompok yang semakin
produktif, menggantikan norma yang kurang produktif, (5) terjalin
komunikasi yang efektif antar anggota kelompok yang
terlibat, dan (6) terdapat
derajat keterikatan yang terhadap
kelompok secara keseluruhan (cohesiveness).
Pendekatan ini
mendasarkan pada pemahaman atas adanya kekuatan dan kelemahan dari kesemua
pendekatan di muka. Pendekatan eklektik lebih menunjukkan suatu penggunaan
kombinasi dari beberapa pendekatan ketimbang menggunakan satu pendekatan secara
utuh. Jadi dalam prakteknya, guru itu menggabungkan
semua aspek terbaik dari pendekatan-pendekatan yang digunakannya yang secara filosofis, teoritis
dan psikologis dibenarkan (Rachman, 1998/1999: 79).Oleh karena itu menurut dia
syarat yang perlu dipenuhi
guru dalam menerapkan pendekatan
ini, adalah: (1) menguasai pendekatan-pendekatan pengelolaan kelas, dan (2) dapat
memilih pendekatan yang tepat dan
melaksanakan prosedur yang
sesuai dengan masalah
pengelolaan kelas yang dihadapi.
Prosedur itu
merupakan langkah-langkah yang dapat dilakukan guru dalam mengelola kelas.Prosedur
ini menyangkut dimensi pencegahan (preventif) dan dimensi
pengatasian/penyembuhan (kuratif).
Prosedur
pencegahan merupakan tindakan yang dilakukan guru dalam mengatur anak didik,
lingkungan dan peralatan kelas, serta format pembelajaran sehingga mendukung
terhdap suasana belajar
yang menyenangkan dan pencapaian
prestasi belajar yang tinggi. Dengan kata lain, prosedur pencegahan ini menyangkut
segala tindakan guru sebelum tingkah laku
yang menyimpang dan mengganggu proses pengajaran muncul. Keberhasilan
dalam tindakan pencegahan merupakan salah satu indikator keberhasilan manajemen
kelas. Konsekuensinya adalah guru dalam menentukan langkah-langkah dalam rangka
manajemen kelas harus merupakan langkah yang efektif dan efisien untuk jangka
pendek maupun jangka panjang.
Adapaun
langkah-langkah pencegahannya (Rahman:
1998) sebagai berikut:
a. Peningkatan kesadaran diri
sebagai guru
Langkah
peningkatan kesadaran diri sebagai guru merupakan langkah yang strategis dan
mendasar, karena dengan dimilikinya kesadaran ini akan meningkatkan rasa
tanggung jawab dan rasa memiliki yang merupakan modal dasar bagi guru dalam
melaksanakan tugasnya. Implikasi adanya
kesadaran diri sebagai guru akan tampak pada sikap guru yang demokratis, sikap
yang stabil, kepribadian yang harmonisdan berwibawa. Penampakan sikap seperti itu
akan menumbuhkan respon
dan tanggapan positif
dari peserta didik.
b. Peningkatan kesdaran peserta
didik
Interaksi
positif antara guru dan peserta didik dalam proses pembelajaran terjadi apabila
dua kesadaran (kesadaran guru dan peserta didik) bertemu. Kurangnya kesadaran
peserta didik akan menumbuhkan sikap suka marah, mudah tersinggung, yang pada
gilirannya memungkinkan peserta didik melakukan tindakan-tindakan yang kurang
terpuji yang dapat mengganggu
kondisi optimal dalam rangka pembelajaran. Untuk meningkatkan kesadaran peserta didik, maka kepada mereka perlu melaksanakan hal-hal berikut :
(1) memberitahukan akan hak dan kewajibannya sebagai peserta didik, (2) memperhatikan kebutuhan, keinginan dan dorongan para peserta didik, (3) menciptakan suasana saling pengertian,
saling menghormatidan rasa keterbukaan antara guru dan peserta
didik.
c. Sikap jujur dan tulus dari guru
Guru hendaknya bersikap jujur dan tulus terhadap peserta didik. Sikap ini
mengandung makna bahwa guru dalam segala tindakannnya tidak boleh berpura-pura
bersikap dan bertindak apa adanya. Sikap
dan tindak laku seperti itu sangat membantu dalam mengelola kelas. Guru dengan sikap
dan kepribadiannya sangat mempengaruhi lingkungan belajar, karena tingkah laku, cara menyikapi dan tindakan
guru merupakan stimulus yang akan direspon atau diberikan reaksi oleh peserta didik. Kalau stimuli itu positif
maka respon atau
reaksinya juga positif. Sebaliknya akalu stimuli itu
negatif maka respon atau
rekasi yang akan
muncul adalah negatif.
Sikap hangat, terbuka, mau
mendengarkan harapan atau keluhan para siswa, akrab dengan guru akan membuka
kemungkinan terjadinya interaksi dan komunikasi wajar antara guru dan peserta
didik.
d.
Mengenal dan mengenal alternatif pengelolaan
Untuk megenal dan menemukan alternatif pengelolaan, langkah ini menuntut
guru:(1) melakukan tindakan identifikasi
berbagai penyimpangan tingkah laku peserta didik yang sifatnya invidual maupun kelompok. Penyimpangan
perilaku peserta didik baik individual maupun kelompok
tersebut termasuk
penyimpangan yang disengaja
dilakukan peserta didik yang hanya sekedar untuk menarik perhatian
guru atau teman-temannya. (2) mengenal berbagai pendekatan dalam manajemen
kelas. Guru hendaknya berusaha menggunakan pendekatan manajemen yang dianggap
tepat untuk mengatasi suatusituasi atau
menggantinya dengan pendekatan
yang dipilihnya, (3) mempelajari
pengalaman guru-guru lainnya yang gagal atau berhasil sehingga dirinya memiliki
alternatif yang bervariasi dalam
menangani berbagai manajemen kelas.
e.
Menciptakan kontrak sosial
Penciptaan kontrak sosial pada dasarnya berkaitan dengan “standar tingkah
laku” yang diharapkan seraya memberi
gambaran tentang fasilitas beserta terbatasannya dalam memenuhi kebutuhan peserta didik. Pemenuhan
kebutuhan tersebut sifatnya individual
maupun kelompok dan memenuhi tuntutan dan kebutuhan sekolah.
Standar tingkah laku ini dibentuk
melalui kontraksosial antara sekolah/guru dan peserta didik. Norma atau
nilai yang turunnya dari atas dan tidak dari bawah, jadi sepihak, maka akan
terjadi bahwa norma itu kurang dihormati dan ditaati. Oleh sebab itu, dalam
rangka mengelola kelas norma berupa
kontrak sosial (tata tertib)
dengan sangsinya yang mengatur kehidupan
di dalam kelas, perumusannya harus
dibicarkan atau disetujui oleh guru dan peserta didik. Kebiasaan yang terjadi
dewasa ini bahwa aturan-aturan sebagai standar tingkah laku berasal dari atas
(sekolah/guru). Para peserta didik dalam hal ini hanya menerima saja apa yang ada.
Mereka tidak memiliki pilihan lain untuk menolaknya. Konsekuensi terhadap
kondisi demikianakan memungkinkan
timbulnya persoalanpersoalan dalam pengelolaan kelas karena para peserta didik tidak merasa turut membuat serta memiliki
peraturan sekolah yang sudah ada tersebut.
Prosedur pengelolaan
kelas yang bersifat kuratif merupakan tindakan yang dilakukan guru sebagai
respon untuk mengatasi tingkah laku anak yang menyimpang atau mengganggu itu.
Dalam hal ini, guru dituntut untuk berusaha menumbuhkan kesadaran anak dan
tanggung jawab memperbaiki tingkah lakunya sehingga yang bersangkutan bisa
kembali berpartisipasi aktif dalam pengajaran.
Usahan yang
bersifat penyembuhan (kuratif) mengikuti langkah-langkah berikut:
a. Mengidentifikasi masalah
Mengidentifikasi
masalahda langkah ini, guru mengenal atau mengetahui masalah-masalah
pengelolaan kelas yang timbul dalam kelas. Berdasar masalah tersebut guru mengidentifikasi jenis penyimpangan sekaligus
mengetahui latar belakang yang membuat pesertadidik melakukan penyimpangan
tersebut.
b. Menganalisis masalah
Pada langkah
ini, guru menganalisis penyimpangan peserta didik dan menyimpulkan latar
belakang dan sumber-sumber dari penyimpangan itu.Selanjutnya menentukan
alternatif-alternatif penanggulangannya.
c. Menilai alternatif pemecahan
masalah
Pada langkah
ini guru menilai dan memilih alternatif pemecahan masalah yang dianggap tepat
untuk menanggulangi masalah.
d. Mendapatkan balikan
Pada langkah
ini guru melaksanakan monitoring, dengan maksud menilai keampuhan pelaksanaan
dari alternatif pemecahan yang dipilih untuk mencapai sasaran yang sesuai
dengan yang direncanakan. Kegiatan kilas balik ini dapat dilaksanakan dengan
mengadakan pertemuan dengan para peserta didik. Maksud pertemuan perlu dijelaskan
oleh guru sehingga peserta didik
mengetahui serta menyadari bahwa pertemuan diusahakan dengan dengannuh ketulusan, semata-mata untuk perbaikan, baik untuk peserta didik maupun sekolah.
Bolla, John I; Joni, T.Raka dan Wardani, I.G.A.K. (Ed.).
1985.
Keterampilan Mengelola Kelas.
Jakarta: Depdikbud. Ditjen.
Dikti. Proyek
Pengembangan LPTK.
Brooks, Jacqueline Grennon; Brooks, Martin G. 1993.
In Search of
Understanding: The Case Constructivist Classrooms. Alexandria,
Virginia:
ASCD.
Charbonneau,
Manon P.; Reider,
Barbara E. 1995. The Integrated
Elementary Classroom: A Developmental Model of Education for The 21
st Century. Boston: Allyn and Bacon.
Entang, M; Joni, T. Raka; Prayitno K. 1985.
Pengelolaan Kelas. Jakarta:
Depdikbud. Ditjen. Dikti. Proyek Pengembangan LPTK.
Good, Thomas L.;
Brophy, Jere E.
1991. Looking in Classrooms. Fifth
Edition. New York: Harper Collins Publishers.
Pengelolaan Kelas, dalam Materi Program Akta Mengajar III/IV.
1999. Bandung: Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP.
Rachman,
Maman.1998/1999. Manajemen Kelas.
Depdikbud. Ditjen.
Dikti. Proyek Pendidikan Guru Sekolah Dasar.
Sumantri, Mulyani; Permana, Johar.
1998/1999. Strategi Belajar
Mengajar. Jakarta: Depdikbud., Ditjen Dikti.,
Proyek Pendidikan Guru
Sekolah
Dasar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Ucapkan Salam