16 Juni 2015

ASAS-ASAS LAYANAN BIMBINGAN “KONSELING”

ASAS-ASAS LAYANAN BIMBINGAN “KONSELING”
A. Asas-Asas Komunikasi Antarpribadi Dalam Konseling
Pelayanan oleh kinselor di institusi pendidikan terlaksana dalam interaksi pribadi dan komunikasi antar pribadi yang bercorak membantu dan dibantu (helping relationship), yang berlangsung secara formal dan dikelola secara profesional. Ciri-ciri dari hubungan antarpribadi yang demikian adalah sebagai berikut.

1.    Bermakna, baik untuk konseler maupun untuk konseli, karena kedua belah pihak melibatkan diri sepenuhnya.
2.    Mengandung aneka unsur kognitif dan afektif, karena konseler dan konseli berfikir bersama serta alam perasaan konseli sepenuhnya diakui dan ikut dihayati oleh konseler.
3.    Berdasarkan saling kepercayaan dan saling keterbukaan, kedua partisipan saling mengandalkan sebagai pribadi yang berkehendak baik.
4.    Berlangsung atas dasar saling memberikan persetujuan, dalam arti konseli menyetujui terjadinya komunikasi secara sukarela dan konseler menerima dengan suka rela permintaan untuk memberikan bantuan profesional.
5.    Terdapat suatu kebutuhan di pihak konseli, yang diharapkan dapat dipenuhi melalui wawancara konseling. Di pihak konseler kebutuhan itu disadari dan diakui termasuk lingkup keahliannya untuk berusaha memenuhinya.
6.    Terdapat komunikasi dua arah, dalam arti konseler dan konseli saling menyampaikan pesan atau saling mengirimkan berita, baik melalui saluran verbal maupun nonverbal. Pesan atau berita itu saling ditangkap.
7.    Mengandung strukturalisasi, dalam arti komunikasi tidak berlangsung ala kadarnya, seperti lazimnya dalam komunikasi sosial nonprofesional. Dalam hal ini konseler  memikul porsi tanggung jawab yang lebih besar, supaya komunikasi terarah, paling sedikit reaksi-reaksi konseler mengikuti ungkapan pikiran dan perasaan konseli.
8.    Berasaskan kerelaan dan usaha untuk bekerja sama agar tercapainya tujuan yang disepakati bersama.
9.    Mengarah ke suatu perubahan pada diri konseli, perubahan itu adalah tujuan yang hendak dicapai bersama. Berkat komunikasi antar pribadi diharapkan konseli akan berubah sikap, berubah pandangan, dan berubah dalam mengambil tindakan, dibanding dengan saat sebelum proses konseling dimulai. Dengan kata lain, konseli belajar sesuatu dari pertemuan pertama dengan konseler, sehingga perkembangan selanjutnya berlangsung lebih positif. Bahkan, konseler sendiri pun kerap belajar sesuatu dari pertemuan dengan konseli, yang memperkaya kepribadiannya.
10.                   Terdapat jaminan bahwa kedua partisipan merasa aman, dalam arti konseli dapat yakin akan keiklasan konseler sehingga keterbukaannya tidak akan disalahgunakan oleh konseler, konseler yakin akan kesetabilan kepribadiannya sendiri sehingga tidak akan mengalami kegoncangan dalam berkontak dengan konseli.

B.  Kondisi-Kondisi Eksternal dan Internal
Kondisi yang dimaksud disini adalah keadaan yang akan berpengaruh terhadap proses konseling dan terhadap hubungan antarpribadi yang berlangsung selama wawancara konseling.
1. Kondisi-Kondisi Eksternal
Meliputi hal berikut:
a.    Lingkungan fisik.
b.    Penataan ruang.
c.    Bentuk bangunan ruang yang memungkinkan pembicaraan secara pribadi (privacy).
d.   Konselor berpakaian rapi.
e.    Kerapian dalam menata segala barang yang terdapat dalam ruangan.
f.     Penggunaan sistem janji.
g.    Konselor meyisihkan buku, catatan serta kertas di atas meja pada waktu seorang konseli datang untuk berwawancara.
h.    Tidak terpasang peralatan rekaman (alat rekaman audio atau video).
Hal-hal di atas merupakan suatu cara komunikasi secara nonverbal, yaitu menyampaikan pesan bahwa konseli dihormati dan dihargai sebagai pribadi yang berhak mendapat pelayanan manusiawi dan profesional.
2. Kondisi-kondisi Internal
a. Pihak Konseli
Pada waktu konseli akan menghadap konselor, dia membawa sikap tertentu, pengalaman-pengalaman tertentu dal hal mendapat pelayanan bimbingan sukses dan kegagalan dimasa yang lampau, aspirasi-aspirasi serta kekecewaan-kekecewaan dan pandangan serta harapannya terhadap konseling.  Singkatnya konseli membawa dirinya sendiri dalam keadaan tertentu. Keadaan ini dapat dpandang sebagai keadaan awal, yang sedikit banyaj akan berpengaruh terhadap wawancara dan proses konseling. Keadaan awal ini dapat berpengaruh positif, dapat pula berpengaruh negatif. Namun, keadaan awal ini sendiri belumlah merupakan komponen initi dalam proses konseling, dalam arti menjamin keberhasilan konseling atau menyebabkan konseling gagal.
1)   Keadaan awal yaitu keadaan sebelum proses konseling yang sebenarnya dimulai, telah diteliti mengenai hal-hal sebagai berikut: sikapnya terhadap konselor sebagai pri dan wanita dari umur tertentu, kesannya mengenai keahlian konselor dalam membantu dia, harapannya terhadap pertemuan dengan konselor, kemiripan konseli dengan konselor dalam beberapa hal, dan kemampuan intelektual serta taraf kedewasaan. Menurut hasil penelitian yang dilaporkan oleh Shertzer dan Stone dalam Fundamentals of Counseling (1980),jenis kelamin dan umur dari konselor tidak menjadi pertimbangan utama dalam pandangan konseli; dipihak lain kesan konseli mengenai taraf keahlian dan lamanya pengalaman konselor berpengaruh terhadap wawancara yang pertama, dalam arti makin dinilai tinggi konselor dalm hal-hal itu, makin mudahlah pertemuan bagi konseli.
Kemiripan konseli dan konselor dalam latar belakang kultural, penghayatan nilai-nilai kehidupan, dan gaya hidup dapat mendorong konseli untuk lebih suka berhubungan dengan konselor A daripada konselor B. Kemampuan intelektual serta taraf kedewasaan, khususnya kemampuan untuk mengadakan ferleksi atas diri sendiri, berpengaruh terhadap lamanya, arah, dan hasil proses konseling. Pada saat sekarang hanya dapat diduga bahwa pertimbangan mengenai jenis kelamin dan umur tertentu bagi banyak siswa disekolah menengah menjadi suatu pertimbangan pokok, khususnya dalam berurusan dengan konselor yang masih muda, belum menikah dan belum berpengalaman lama, untuk membicarakan suatu masalah sosial-pribadi. Harapan konseli terhadap wawancara konseling sering akan berkisar pada diberi jalan keluar, dan karena itu menimbulkan tantangan bagi konselor untuk tidak berlagak sebagai penasihat belaka. Kemiripan dengan konselor mungkin menjadi pertimbangan pokok bagi konseli yang hidup dalam lingkungan masyarakat yang mengalami ketegangan antar suku, antarlapisa masyarakat, atau antaragama. Kemampuan intelektual dan kemampuan untuk mengadakan refleksi diri, kiranya sangat berpengaruh dan menyangkut persyaratan untuk keberhasilan proses konseling.
2)   Berlakulah beberapa persyaratan yang menyangkut proses konseling secara langsung.
Pertama, siswa harus termotivasi kuat untuk mencari penyelesaian atas masalah yang dihadapi, yang disadari sepenuhnya, dan mau dibicarakan dengan konselor. Persyaratan ini merupakan prasyarat, dalam arti menentukan keberhasilan atau kegagalan konseling.
Kedua, keinsyafan akan tanggung jawab yang dipikul oleh konseli sendiri dalam mencari penyelesaian terhadap masalahnya dan melaksanakan apa yang diputuskan pada akhir proses konseling. Persyaratan ini ditimbulkan selama proses konseling berlangsung.
Ketiga, keberanian dan kemampuan untuk mengungkapkan pikiran dan perasaannya serta masalah yang dihadapi. Persyaratan ini berkaitan dengan kemampuan intelektual dan kemampuan untuk berefleksi atas diri sendiri. Mengingat kenyataan bahwa dalam semua hal itu terdapat perbedaan diantara konseli yang satu dengan yang lain, sangat sulitlah menentukan sampai berapa jauh persyaratan ini merupakan prasyarat. Kebanyakan konseli kiranya dapat ditolong melalui teknik-teknik lonseling verbal tertentu untuk mengekspresikan diri secara cukup memadai, sehingga proses konseling dapat berjalan dengan cukup memuaskan pula.
b. Dipihak Konselor
Pendidikan akademik terutama meliputi persyaratan-persyaratan kognitif, sedangkan tinjauan tentang kepribadian terutama menyangkut kondisi-kondisi atau persyaratan-persyaratan nonkognitif.
Menurut konsepsi Belkin sejumlah kualitas kepribadian dapat ditampung dalam tiga jdul, yaitu mengenal diri sendiri, memahami orang lain, dan kemampuan berkomunikasi dengan orang lain. Menyebutkan sejumlah kualitas kepribadian, seperti merasa aman dengan diri-sendiri, percaya orang lain, dan memiliki keteguhan hati dalam mengenal diri, keterbukaan hati, kebebasan dari cara berpikir yang kaku, kepekaan dan empati dalam memahami oarang lain, sejati se`ta tulen, bebas dari kecenderungan untuk menguasai orang lain, kemampuan mendengarkan dengan baik, penghargaan terhadap orang lain, kejujuran, kesungguhan, dapat diandalkan, keterusterangan , dan kemampuan mengungkapkan pikiran serta perasaan dalam kata-kata dan isyarat-isyarat dalam kemampuan berkomunikasi dengan orang lain.
Menurut uraian Shertzer dan Stone dalam fundamentals of Counseling (1980), hasil penelitian di Amerika Serikat menunjukkan bahwa konselor yang efektif dan konselor yang kurang efektif dapat dibedakan atas dasar tiga dimensi, yaitu pengalaman, corak hubungan antarpribadi, dan faktor-faktor nonkognitif. Pengalaman ternyata menjadi variabel penting dalam efektivitas pekerjaan seorang konselor, sejauh mereka yang telah lama berkecimpungan dalam profesi ini menunjukkan antar pribadi yang khas untuk suatu helping relationship, biarpun mereka berpegang pada pandangan teoritis tentang proses konseling yang berbeda-beda, dan sejauh mereka lebih banyak menunjukkan ketulusan, empati, dan penerimaan terhadap konseli, dibanding dengan para konselor yang belum berpengalaman. Corak hubungan antarpribadi yang menekankan empati atau pemahaman terhadap pikiran dan perasaan yang terungkap oleh konseli, serta penerimaan terhadap konseli, ternyata sangat esensial dan dapat ditemukan pada berbagai tipe kepribadian konselor yang efektif.  Faktor-faktor nonkognitif meliputi hal-hal seperti motivasi, nilai-nilai kehidupan (values), perasaan terhadap orang lain, ketenangan dalam menghadapi situasi wawancara konseling yang arahnya tidak diketahui sebelumnya (ambiguity), kedewasaan, kemampuan untuk menjaga jarak dan tidak menjadi terlibat secara emosional, dan kelincahan dalam pergaulan sosial pada umumnya. Faktor-faktor itu ditemukan dalam gradasi yang lebih tinggi pada konselor-konselor yang dinilai lebih efektif dalam pekerjaan dan, karena itu, dapat dikaitkan dengan efektivitas konselor, meskipun dalam hal ini belum terbukti adanya hubungan sebab-akibat.
Lingkaran paling dalam menyangkut persyaratan-persyaratan yang paling pokok (core conditions, facilitating conditions), sedangkan lingkaran diantara yang paling dalam dan paling luar menyentuh pada persyaratan-persyaratan yang tidak seberat persyaratan yang pokok.
1)   Keadaan awal, yaitu keadaan sebelum hubungan antarpribadi secara formal dimulai, telah diteliti mengenai hal-hal sebagai berikut: jenis kelamin dan umur tertentu, penampilan yang menarik atau tidak, penggunaan humor, dan kecenderungan untuk banyak melakukan gerakan motorik atau tidak. Menurut hasil penelitian oleh Shertzer dan Stone dalam Fundamentals of Counseling, kualitas-kualitas kepribadian konselor lebih berpengaruh positif dalam proses konseling daripada jenis kelamin sebagai pria dan wanita, meskipun bagi konseli-konseli tertentu dengan masalah tertentu jenis kelamin konselor dapat menunjang atau menghambat. Umur merupakan suatu variabel yang dampaknya lebih tergantung dari sikap konseli dan dari adanya atau tidak adanya prasangka dipihak konseli, kecuali kalau konseli menghubungkan umur dengan banyak sedikitnya pengalaman konselor. Penampilan yang menarik atau tidak menarik sebagian tergantung dari ketampanan dan kecantikan alamiah dan sebagian lagi pada cara berpakaian dan merawat diri. Mengenai pengunaan humor tidak tersedia banyak data, tetapi diduga bahwa konselor yang pada umumnya mampu untuk berkelakar mempunyai sesuatu yang dapat mendukung dalam wawancara konseling, asal digunakan secara wajar. Konselor-konselor yang dalam pergaulan sehari-hari banyak menggunakan gerakan motorik dan berkomunikasi melalui macam-macam isyarat (body languange) kiranya tidak perlu khawatir, asal gerakan-gerakannya sesuai dengan kata-kata yang diucapkannya selama berwawancara konseling. Dalam hal ini,kemungkinan besar bahwa status hidup konselor sebagai biarawan, biarawati, pemuka agama atau pengantar agama dalam pandangan sejumlah konseli lebih pokok daripada jenis kelamin mereka, karena konseli cenderung lebih percaya pada orang-orang yang berstatus demikian. Umur muda, lebih-lebih bila jarak umur antara konselor dan konseli sekitar 5-8 tahun, kiranya cenderung menempatkan konselor dalam kondisi yang kurang menguntungkan baginya, karena konseli mudah berprasangka dia belum dapat mengerti dan masih kurang bijaksana. Penampilan yang menarik kiranya sangat menguntungkan posisi konselor, karena siswa dan mahasiswa hidup dalam lingkungan masyarakatyang mudah dinilai berdasarkan kesan-kesan lahiriah. Lain halnya, kalau konselor terkenal sebagai orang yang suka berkelakar, siswa dan mahasiswa, yang khawatir bahwa kelakar konselor akan menyindir atau menyinggung perasaan, kemungkinan besar tidak akan suka untuk berwawancara konseling dengan dia. Konselor pada umumnya banyak berbicara dengan gerakan-gerakan jasamani kiranya bersifat netral saja, kecuali gerakan-gerakannya oleh lingkungannya dinilai tidak wajar atau agak sinting.
2)   Persyaratan-persyaratan yang belum sampai menyentuh pertemuan antarpribadi selama berwawancara konseling, meliputi hal-hal sebagai berikut: keyakinan-keyakinan dan nilai-nilai kehidupan tertentu, pengalaman dilapangan, kemampuan menghadapi situasi yang belum menentu (ambiguity tolerance), kemudahan dalam berbicara mengenai diri-sendiri (self-disclosure), konsep diri, dan refleksi atas diri sendiri (self-exploration). Konselor yang berwatak atau berkarakter kuat dan baik mau tak mau akan mencerminkan nilai-nilai kehidupan, yang dianutnya sebagai pedoman hidup, dalam berurusan dengan seorang konseli. Menurut laporan hasil penelitian dalm buku Shertzer dan Stone, Fundamentals of Counseling, konseli-konseli yang pada akhir proses konseling mengambil sikap yang sama atau mirip dengan nilai-nilai hidup dari konselor, megalami perubahan yang positif dibandingkan dengan para konseli yang tidak demikian. Lain halnya, kalau konselor berusaha memaksakan nilai-nilai hidupnya sendiri pada konseli; bertindak demikian oleh para ahli konseling dan konselor-konselor dilapangan dianggap tidak tepat. Pengalaman dilapangan dan pendidikan formal yang dimiliki oelh konselor cenderung dipandang oleh konseli sebagai bukti keahliaan dan wewenangnya, sehingga konseli menghadap konselor dengan rasa kepercayaan diri yang lebih besar. Kemampuan konselor untuk menghadapi situasi yang belum menentu dan tidak menjadi terlalu gelisah karenanya, cenderung menunjang interaksi konselor dengn konseli. Kerelaan dan kemudahan konselor untuk menyatakan sesuatu tentang pengalaman batinnya sendiri ternyata dapat membantu konseli dalam membuka pengalaman batinnay sendiri, karena konseli terkesan dengan keterbukaan konselor dan menangkapnya sebagai keinginan konselor untuk sungguh-sungguh mengenali pikiran dan perasaan konseli. Tentu saja keterbukaan tentang kehidupan pribadi konselor tidak boleh mengakibatkan bahwa fokus perhatian berpindah dari konseli kepada konselor. Konselor yang mengenal diri sendiri (self-awareness) dan mampu berefleksi atas dir sendiri (self reflection) oleh banyak pengarang ahli dianggap lebih mampu untuk mendalami pikiran dan perasaan orang lain dan lebih mudah memandang persoalannya dari sudut pandangan konseli (internal frame of refernce). Mengenal diri sendiri dan berefleksi atas diri sendiri membuat konselor lebih peka (sensitif) terhadap apa yang terdapat dibelakang kata-kata klien, seperti pikiran dan perasaan yang menyertai kata-kata yang diucapkan. Kepekaan (sensitivity) ini dapat dikembangkan juga dengan membaca buku-buku roman, melihat film-film, dan meyaksikan pertunjukan-pertunjukan yang melukiskan kehidupan batin pada manusia sebagi individu dan sebagai kelompok.
Persyaratan-persyaratan diatas kiranya berpengaruh dalam konseling profesional dilingkungan kebudayaan manapun juga. Meskipun, sepengetahuan pengarang buku ini, belum tersedia data penelitian tentang persyaratan-persyaratan ini dalam konseling diberbagai lingkungan kebudayaan, yang membenarkan hal ini (cross-cultural studies). Tentu saja konselor yang bergerak dalam lingkungan kebudayaan tertentu, harus mengenal ciri-ciri kebudayaan itu dan dampaknya terhadap alam pikiran dan perasaan konseli dan dirinya-sendiri.
3)   Persyaratan-persyaratan yang menyentuh langsung pada hubungan dan komunikasi antarpribadi, sebagaimana berlangsung dalam wawancara konseling, banyak mendapat sorotan.
Persyaratan-persyaratan itu sebagian bersumber pada kepribadian konselor sendiri dan sebagaian lagi bertumpu pada sikap-sikap yang diambil konselor selama proses konseling. Sebagai sikap persyaratan-persyaratan itu dapat dikembangkan melalui pengalaman pratikum (PPL) dan pengalaman nyata dilapangan selama bertahun-tahun, tetapi sikap itu akan menjadi kering dan berpura-pura kalau tidak menjadi milik pribadi konselor atau tumbuh dari sifat-sifat kepribadian yang sudah dimiliki.
Persyaratan-persyaratan ini oleh pengarang-pengarang ahli diberi nama yang berlain-lainan dan dibahas menurut sistematika yang berbeda-beda pula. Rogers menekankan penghargaan dan penerimaan yang tidak bersyarat apapun (unconditional positivee regard) dan empati atau pengertian terhadap pengalaman, pikiran, dan perasaan klien (empathic understanding). Truax dan Carkhuff mengemukakan empat komponen yang disebut kondisi-kondisi yang memperlancar dan memungkinkan proses komunikasi antarpribadi (facilitating conditions), yaitu pengertian terhadap konseli yang dikomunikasikan juga kepada konseli (emphatic understanding); penerimaan, penghargaan, dan perhatian tulen kepada konseli yang tidak membuat konseli menggantungkan diri pada konselor (respect; nonpossessive warmth); keikhlasan dan kejujuran, yang berarti konselor tidak berpura-pura atau bersandiwara (genuineness, congruence); tanggapan-tanggapan verbal yang menunjuk pada perasaan, pikiran, pengalaman, dan perilaku tertentu pada konseli (concreteness and specifity). Tyler menyebutkan dua sikap dasar, yaitu penerimaan (acceptance) dan pengertian atau pemahaman (understanding), serta satu keterampulan dasar, yaitu kemampuan untuk mengkomunikasikan kepada konseli apa yang ditangkap konselor mengenai pikiran dan perasaan konseli (communication). Shertzer dan Stone mengutamakan penerimaan (acceptance) dan pengertian atau pemahaman (understanding), yang kedua-duanya dapat dipandang sebagai sikap dasar atau sebagai keterampilan khusus. Penerimaan berarti, konselor mengakui sepenuhnya perbedaan-perbedaan individual setiap orang dan menyadari sedalam-dalamnya kompleksitas kehidupan batin dan perilaku seseorang, tanpa mengadili atau menilai seseorang sebagai pribadi yang kurang patut dihargai. Pengertian dan pemahaman berarti bahwa konselor berusaha sekuat tenaga untuk ikut mendalami dan menghayati keseluruhan pengalaman konseling dan memantulkan pengertian itu kepada konseli secara memadai. Penerimaan dan pemahaman sebagai sikap dasar harus menghayati dan meresapi kontak pribadi dengan konseli; sebagai keterampilan khusus kedua hal itu terwujud dalam teknik-teknik konseling tertentu yang digunakan pada saat-saat tertentu.
C. Teknik-Teknik Konseling
Konseling mengandung suatu proses komunikasi antarpribadi yang berlangsung melalui saluran komunikasi verbal dan nonverbal. Kondisi-kondisi dapat dikomunikasikan melalui teknik-teknik verbal tertentu, seperti refleksi dan klarifikasi, dan melalui teknik-teknik nonverbal, seperti sikap badan dan pandangan mata. Namun, kondisi-kondisi itu (facilitative conditions) harus meresapi semua teknik-teknik verbal dan nonvrbal yang lain, sehingga dari awal sampai akhir pembicaraan kondisi-kondisi itu tercipta dan terbina terus-menerus. Maka, bantuan yang diberikan oleh seorang konselor meliputi baik penciptaan serta pembinaan kondisi-kondisi dasar (core conditions) maupun struktur serta organisasi pada pembicaraan, sehingga konseli secara bertahap dapat menemukan penyelesaian atas masalah yang dihadapinya.
1.    Teknik-Teknik Konseling yang Verbal
Teknik-teknik konseling yang verbal adalah tangapan-tanggapan verbal yang diberikan oleh konselor, yang merupakan perwujudan konkret dari maksud, pikiran, dan perasaan yang terbentuk dalam batin konselor (tanggapan batin) untuk membantu konseli pada saat tertentu.
Ungkapan konselor yang berupa tanggapan verbal dengan maksud membantu konseli dapat berupa satu atau lebih teknik yang verbal, tergantung dari intensi konselor, misalnya hanya menunjukkan penerimaan saja (satu teknik) atau menunjukkan penerimaan dan memantulkan perasaan konseli (dua teknik) atau memantulkan pikiran dan memberikan informasi serta menanyakan hal tertentu (tiga teknik). Berikut daftar yang ditampilkan dibawah ini tidak bersifat mutlak dan barangkali dapat dianggap tidak lengkap pula. Daftar ini disusun mengingat urutan fase yang umumnya terdapat dalam proses konseling, yaitu: fase pembukaan, fase konseling mengemukakan masalahnya, fase konselor bersama konseli menggali latar belakang masalah dan berusaha memperoleh gambaran yang lengkap serta cukup mendalam, fase memikirkan bersama bentuk penyelesaian masalah yang paling tepat, dengan membuat pilihan diantara beberapa alternatif atau meninjau kembali sikap dan pandangan demi penyesuaian diri yang lebih baik; fase penutup, teknik verbal pada urutan A s/d I mengandung pengarahan sedikit dan lebih sesuai dengan metode non direktif, sedangkan nomor J s/d U mengandung pengarahan banyak dan lebih sesuai dengan metode direktif.
Teknik-teknik konseling yang verval adalah tanggapan-tanggapan verbal yang diberikan oleh konselor , yang merupakan perwujudan konkret dari maksud, pikiran, dan perasaan yang terbentuk dalam batin konselor (tanggapan batin) untuk untuk membantu konseling pada saat tertentu.
Tanggapan verbal konselor dapat dituangkan dalam bentuk pernyataan atau dalam bentuk kalimat tanya atau dalam bentuk kombinasi dari pernyataan dan pertanyaan.
Pada kalimat tanya perlu dibedakan antara bentuk pertanyaan terbuka dengan pertanyaan tertutup. pada pertanyaan terbuka konselor memberikan kesempatan kepada konseling untuk menanggapi secara luas. Sedangkan pada pertanyaan tertutup konselor mengharapkan tanggapan terbatas saja.
Konselor harus sangat hati-hati dalam memulai suatu kalimat tanya dengan “mengapa atau kenapa”. Penggunaan kata-kata itu mengandung bahaya karena konseling mendapat kesan dia dimintai pertanggung jawaban, konselor menyatakan keheranan terhadap suatu hal yang terjadi, bahkan mungkin konseling akan cenderung membela diri dari pada jujur dalam mengungkapkannya.
a.       Ajakan untuk mulai (invitation to talk)
Pada akhir fase pembukaan konselor mempersilakan konseling untuk mulai menjelaskan masalah yang ingin dibicarakan.
b.      Penerimaan/menunjukkan pengertian (acceptance understanding)
Konselor menyatakan pengertiannya atau penerimaannya terhadap hal yang terungkapkan.
c.       Perumusan kembali pikiran/gagasan/refleksi pikiran (reflection of content)
Menyangkut komponen pengalaman dan komponen refleksif dalam pesan konseling disebut pikiran-gagasan karena subjek menggunakan bentuk-bentuk representasi mental. Apa yang telah terjadi (komponen refleksif), yang terungkap secara eksplisit oleh konseling, dirumuskan kembali oleh konselor dalam bentuk:
1)   Menggunakan kata-kata sendiri (parafrase)
2)   Menggunakan kata-kata konseling (restatement)

d.      Perumusan kembali perasaan/refleksi perasaan (reflection of feeling)
Konselor memantulkan kembali kepada konseling perasaan tentang kejadian atau pengalaman yang telah diungkapkannya secara verbal maupun secara nonverbal, namun jelas dan eksplisit.
e.       Penjelasan pikiran/gagasan/klarifikasi pikiran (clarification of content)
Menyangkut komponen-komponen refleksif dlam pesan konseli, yang biasanya mencakup suatu keyakinan, suatu pandangan, suatu pendapat atau suatu evaluasi terhadap kejadian atau pengalaman. Konselor ingin ingin mengecek apakah penangkapannya terhadap pesan yang telah diungkapkan oleh konseli dengan kata-kata yang kurang memadai telah tepat.
f.       Penjelasan perasaan/klarifikasi perasaan (clarification of feeling)
Menyangkut komponen afektif dalam pesan konseli. Konselor ingin mengecek penangkapan dengan tepat terhadap isi dan bobot/kedalaman perasaan secara implisit yang telah diungkapkan oleh konseli.
g.      Permintaan untuk melanjutkan (general lead)
Konselor mempersilahkan konseli untuk memberikan ulasan/penjelasan lebih lanjut mengenai sesuatu yang telah dikemukakannya, isi ulasan/penjelasan dan arahnya terserah pada konseli.
h.      Pengulangan satu-dua kata (accent)
Koselor mengulangi satu/dua kata kunci dalam pernyataan konseli dalam bentuk kalimat tanya, dengan tujuan supaya konseli memberikan penjelasan lebih lanjut.
i.        Ringkasan/rangkuman (summary)
Terdapat empat ringkasan/rangkuman yang mungkin terjadi yaitu:
1)      Pikiran dan gagasan yang telah dikemukakan oleh konseli sampai sekarang
2)      Sejumlah perasaan yang telah diungkapkan oleh konseli sampai sekarang
3)      Isi pembijaraan konseli dan konselor sampai sekarang
4)      Isi pembicaraan selama wawancara (ringkasan pada akhir wawancara)
j.        Pertanyaan mengenai hal tertentu (questioning/probing)
Kalimat tanya dapat berupa pertanyaan terbuka atau pertanyaan tertutup. pada umumnya lebih baik menggunakan kalimat terbuka. Hal yang ditanyakan dapat mengenai sesuatu yang perlu diketahui oleh konselor. Pengajuan pertanyaan dapat juga relevan di fase penggalian latar belakang, fase penyelesaian masalah dan fase penutup.
k.      Pemberian umpan balik (feedback)
Dalam hal ini konselor menyampaikan kepada konseli pikiran atau perasaannya sendiri tentang sikap konseli selama wawancara berlangsung atau mengenai kemajuan yang telah dicapai dalam proses konseling. Pikiran atau perasaan itu dituangkan dengan jujur dan konkret sehingga konseli tidak ragu-ragu akan apa yang dimaksud oleh konselor.
l.        Pemberian informasi (information giving)
Konselor menyampaikan pengetahuan tentang sesuatu kepada konseli, sesuatu yang sebaiknya diketahui, namun ternyata belum diketahuinya. Penyampaian ini tidak mengandung unsur saran.
m.    Penyajian alternatif (forking response)
Konselor menyampaikan beberapa alternatif kemudian konseli diminta untuk memilih.
n.      Penyelidikan (investigation)
Konselor mengajak konseli untuk menyelidiki alterntif-alternatif yang dapat dipilih dan dampaknya setelah memilih alternatif itu.
o.      Pemberian struktur (structuring)
Konselor memberikan petunjuk tentang urutan langkah berpikir atau urutan dalam tahap pembicaraan yang sebaiknya diikuti, supaya akhirnya sampai pada pemecahan/penyelesaian masalah.
p.      Interpretasi (interpretation)
Pada teknik interpretasi konselor menambahkan sesuatu pada hal-hal yang sudah terungkap dan yang belum disadari oleh konseli (unconscious). Konselor menggali arti dan makna yang terdapat di belakang kata-kata konseli atau di belakang tindakan-tindakannya yang telah diceritakan.
q.      Konfrontasi (confrontation)
Konselor mengarahkan perhatian konseli atas beberapa hal yang menurut pandangan konselor tidak sesuai satu sama lain. Biasanya konseli belum menyadari ketidakcocokan itu, maka konselor menyadarkannya dengan maksud supaya konseli menghadapi diri sendiri secara lebih jujur.
r.        Diagnosis (diagnosis)
Konselor sampai pada diagnosis tertentu setelah semua data yang tersedia sama dihubungkan satu sama lain. Sebaiknya konselor minta umpan balik dari konseli, supaya dia terlibat pula dalam proses pemikiran.
s.       Dukungan/bombongan (reassurance/support)
Konselor memberikan semangat dan keyakinan kepada konseli, lebih-lebih pada saat segalanya terasa sulit. Konselor dapat membesarkan hati, memberikan atau menunjukkan harapan, supaya konseli tidak kehilangan semangat.
t.        Usul/saran (suggestion/advice)
Ada konseli yang kadang-kadang membutuhkan hal ini, lebih-lebih bila dia sedang dalam keadaan bingung. Konselor yang berpengalaman tidak akan ragu-ragu menggunakan teknik ini, tetapi dia harus sangat bijaksana dalam menentukan terhadap siapa dan kapan teknik ini sebainya digunakan.
u.      Penolakan (criticism, negative evaluation)
Konselor menyatakan pendapatnya berdasarkan pertimbangan objektif, yang bersifat menolak pandangan, tindakan atau rencana konseli. Teknik ini hanya boleh digunakan jika hubungan konseli dengan konselor sangat baik, sehingga komentar negatif dari konselor tidak akan merusak hubungan, bahkan akan membantu konseli untuk menghadapi dirinya secara realistik.

2. Teknik-Teknik Konseling yang Nonverbal
a.       Senyuman: untuk menyatakan sikap menerima, misalnya pada saat menyambut kedatangan konseli. (sikap dasar)
b.      Cara duduk: untuk menyatakan sikap rileks dan sikap mau memperhatikan, misalnya membungkuk ke depan, duduk agak bersandar. Sikap badan jelas-jelas menyampaikan suatu pesan pada konseli. (sikap dasar)
c.       Anggukan kepala: untuk menyatakan penerimaan dan menunjukkan pengertian. (sikap dasar). Boleh juga menyertai kata-kata yang bertujuan membombong. (menguatkan,menunjang)
d.      Gerak-gerik lengan dan tangan: untuk memperkuat apa yang diungkapkan secara verbal. Gerak-gerik semacam itu banyak macam variasinya dan mengandung macam-macam makna. (menguatkan, menunjang)
e.       Berdiam diri: untuk memberikan kesempatan kepada konseli berbicara secara leluasa, mengatur pikirannya atau menenangkan diri. (sikap dasar). Bila konseli diam mungkin konselor ikut diam, namun diamnya konselor tergantung pada lama diamnya konseli, misalnya konseli merasa:
1)      Sulit mengungkapkan perasaan
2)      Malu untuk berbicara atau gelisah
3)      Antipati pada konselor karena bersikap bermusuhan
4)      Bingung dan mengharapkan saran atau bombongan dari konselor
5)      Lega sesudah mengungkapkan semua perasaannya
Kesimpulannya menggunakan tehnik berdiam diri tidakklah mudah. (sikap dasar)
f.       Mimik (ekspresi wajah, roman muka, air mata, raut muka): untuk menunjang atau mendukung dan menyertai reaksi-reaksi verbal. (menunjang)
g.      Kontak mata (konselor mencari kontak mata dengan konseli): untuk menunjang atau mendukung tanggapan verbal/menyatakan sikap dasar.
h.      Variasi dalam nada suara dan kecepatan bicara: untuk menyesuaikan diri dengan ungkapan perasaan konseli, dengan nada suara lebih tinggi atau lebih rendah. Hal-hal ini termasuk gejala-gejala vokal. (menunjang)

D. Tenaga Pengajar dan Konseling
Dibawah ini disajikan beberapa saran untuk tenaga pengajar yang akan berbicara secara perseorangan dengan siswa dan mahasiswa, yang menghubungi mereka atas inisiatif sendiri.
1.      Sikap-sikap dasar, seperti penerimaan dan pemahaman harus melandasi pelayanannya. Guru dan dosen harus waspada terhadap kecenderungannya untuk lekas melontarkan kritik negatif, menjatuhkan hukuman, dan merendahkan.
2.      Tanggapan yang menyangkut penyelesaian masalah kerap mengandung pengarahan, dalam arti menunjukkan sikap yang tepat atau tindakan yang serasi, yang dapat membuka jalan untuk menyelesaikan masalah secara tuntas.
Guru ataupun dosen sebaiknya mengerti tentang perkembangan anak muda zaman sekarang. Kebutuhan generasi muda tidak sama dengan keinginan generasi muda, sehingga tenaga pengajar harus waspada terhadap sekedar mengikuti keinginan siswa dan mahasiswa. Sebagaimana pedoman bagi pengarahan yang sebaiknya diberikan, disajikan beberapa petunjuk yang menyangkut hal-hal sebagai berikut:
a)      Pembentukan watak (karakter): hanya pemikiran yang cukup mendalam, keberanian untuk memilih, usaha yang serius dan iman kepercayaan yang kuat akan menunjang pembentukan watak yang kuat dan baik.
b)      Hubungan dengan orang tua:jika timbul perbedaan pendapat dengan orang tua mengenai masalah kecil sebaiknya seorang anak menuruti keinginan orang tua, sedangkan jika menyangkut hal besar sebaiknya orang tua dan anak berdiskusi karena anak juga memiliki hak untuk mengambil keputusan.
Sedangkan untuk solusi dari pengajar pengalaman hidup tenaga pengajar sendiri dapat menjadi sumber untuk menggali kebijaksanaan-kebijaksanaan guna membantu siswa dan mahasiswa mengatasi permasalahan keluarga.

c)      Pergaulan dengan lain jenis: dalam bidang ini seringkali timbul permasalahan-permasalahan. Pada pria muda perlu dipupuk rasa tanggung jawab dan bertindak kesatria, sedangkan pada wanita muda perlu dikembangkan sikap sabar, kerelaan sedikit sabar menunggu saat pengambilan keputusan mengikat, dan rasa harga diri tanpa menggantungkan nasib hidupnya pada pria begitu saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ucapkan Salam