ASAS-ASAS
LAYANAN BIMBINGAN “KONSELING”
A. Asas-Asas Komunikasi Antarpribadi
Dalam Konseling
Pelayanan oleh kinselor di institusi
pendidikan terlaksana dalam interaksi pribadi dan komunikasi antar pribadi yang
bercorak membantu dan dibantu (helping relationship), yang berlangsung secara
formal dan dikelola secara profesional. Ciri-ciri dari hubungan antarpribadi
yang demikian adalah sebagai berikut.
1.
Bermakna, baik
untuk konseler maupun untuk konseli, karena kedua belah pihak melibatkan diri
sepenuhnya.
2.
Mengandung aneka
unsur kognitif dan afektif, karena konseler dan konseli berfikir bersama serta
alam perasaan konseli sepenuhnya diakui dan ikut dihayati oleh konseler.
3.
Berdasarkan
saling kepercayaan dan saling keterbukaan, kedua partisipan saling mengandalkan
sebagai pribadi yang berkehendak baik.
4.
Berlangsung atas
dasar saling memberikan persetujuan, dalam arti konseli menyetujui terjadinya
komunikasi secara sukarela dan konseler menerima dengan suka rela permintaan
untuk memberikan bantuan profesional.
5.
Terdapat suatu
kebutuhan di pihak konseli, yang diharapkan dapat dipenuhi melalui wawancara
konseling. Di pihak konseler kebutuhan itu disadari dan diakui termasuk lingkup
keahliannya untuk berusaha memenuhinya.
6.
Terdapat
komunikasi dua arah, dalam arti konseler dan konseli saling menyampaikan pesan
atau saling mengirimkan berita, baik melalui saluran verbal maupun nonverbal.
Pesan atau berita itu saling ditangkap.
7.
Mengandung
strukturalisasi, dalam arti komunikasi tidak berlangsung ala kadarnya, seperti
lazimnya dalam komunikasi sosial nonprofesional. Dalam hal ini konseler memikul porsi tanggung jawab yang lebih
besar, supaya komunikasi terarah, paling sedikit reaksi-reaksi konseler
mengikuti ungkapan pikiran dan perasaan konseli.
8.
Berasaskan
kerelaan dan usaha untuk bekerja sama agar tercapainya tujuan yang disepakati
bersama.
9.
Mengarah ke suatu
perubahan pada diri konseli, perubahan itu adalah tujuan yang hendak dicapai
bersama. Berkat komunikasi antar pribadi diharapkan konseli akan berubah sikap,
berubah pandangan, dan berubah dalam mengambil tindakan, dibanding dengan saat
sebelum proses konseling dimulai. Dengan kata lain, konseli belajar sesuatu
dari pertemuan pertama dengan konseler, sehingga perkembangan selanjutnya
berlangsung lebih positif. Bahkan, konseler sendiri pun kerap belajar sesuatu
dari pertemuan dengan konseli, yang memperkaya kepribadiannya.
10.
Terdapat jaminan
bahwa kedua partisipan merasa aman, dalam arti konseli dapat yakin akan
keiklasan konseler sehingga keterbukaannya tidak akan disalahgunakan oleh
konseler, konseler yakin akan kesetabilan kepribadiannya sendiri sehingga tidak
akan mengalami kegoncangan dalam berkontak dengan konseli.
B. Kondisi-Kondisi Eksternal dan Internal
Kondisi yang
dimaksud disini adalah keadaan yang akan berpengaruh terhadap proses konseling
dan terhadap hubungan antarpribadi yang berlangsung selama wawancara konseling.
1. Kondisi-Kondisi
Eksternal
Meliputi hal berikut:
a.
Lingkungan
fisik.
b.
Penataan ruang.
c.
Bentuk bangunan
ruang yang memungkinkan pembicaraan secara pribadi (privacy).
d.
Konselor
berpakaian rapi.
e.
Kerapian dalam
menata segala barang yang terdapat dalam ruangan.
f.
Penggunaan
sistem janji.
g.
Konselor
meyisihkan buku, catatan serta kertas di atas meja pada waktu seorang konseli
datang untuk berwawancara.
h.
Tidak terpasang
peralatan rekaman (alat rekaman audio atau video).
Hal-hal di atas
merupakan suatu cara komunikasi secara nonverbal, yaitu menyampaikan pesan
bahwa konseli dihormati dan dihargai sebagai pribadi yang berhak mendapat
pelayanan manusiawi dan profesional.
2. Kondisi-kondisi
Internal
a.
Pihak Konseli
Pada waktu konseli akan menghadap
konselor, dia membawa sikap tertentu, pengalaman-pengalaman tertentu dal hal
mendapat pelayanan bimbingan sukses dan kegagalan dimasa yang lampau,
aspirasi-aspirasi serta kekecewaan-kekecewaan dan pandangan serta harapannya
terhadap konseling. Singkatnya konseli
membawa dirinya sendiri dalam keadaan tertentu. Keadaan ini dapat dpandang
sebagai keadaan awal, yang sedikit banyaj akan berpengaruh terhadap wawancara
dan proses konseling. Keadaan awal ini dapat berpengaruh positif, dapat pula
berpengaruh negatif. Namun, keadaan awal ini sendiri belumlah merupakan
komponen initi dalam proses konseling, dalam arti menjamin keberhasilan
konseling atau menyebabkan konseling gagal.
1)
Keadaan awal
yaitu keadaan sebelum proses konseling yang sebenarnya dimulai, telah diteliti
mengenai hal-hal sebagai berikut: sikapnya terhadap konselor sebagai pri dan
wanita dari umur tertentu, kesannya mengenai keahlian konselor dalam membantu
dia, harapannya terhadap pertemuan dengan konselor, kemiripan konseli dengan
konselor dalam beberapa hal, dan kemampuan intelektual serta taraf kedewasaan.
Menurut hasil penelitian yang dilaporkan oleh Shertzer dan Stone dalam Fundamentals
of Counseling (1980),jenis kelamin dan umur dari konselor tidak menjadi pertimbangan
utama dalam pandangan konseli; dipihak lain kesan konseli mengenai taraf
keahlian dan lamanya pengalaman konselor berpengaruh terhadap wawancara yang
pertama, dalam arti makin dinilai tinggi konselor dalm hal-hal itu, makin
mudahlah pertemuan bagi konseli.
Kemiripan
konseli dan konselor dalam latar belakang kultural, penghayatan nilai-nilai
kehidupan, dan gaya hidup dapat mendorong konseli untuk lebih suka berhubungan
dengan konselor A daripada konselor B. Kemampuan intelektual serta taraf
kedewasaan, khususnya kemampuan untuk mengadakan ferleksi atas diri sendiri,
berpengaruh terhadap lamanya, arah, dan hasil proses konseling. Pada saat
sekarang hanya dapat diduga bahwa pertimbangan mengenai jenis kelamin dan umur
tertentu bagi banyak siswa disekolah menengah menjadi suatu pertimbangan pokok,
khususnya dalam berurusan dengan konselor yang masih muda, belum menikah dan
belum berpengalaman lama, untuk membicarakan suatu masalah sosial-pribadi.
Harapan konseli terhadap wawancara konseling sering akan berkisar pada diberi
jalan keluar, dan karena itu menimbulkan tantangan bagi konselor untuk tidak
berlagak sebagai penasihat belaka. Kemiripan dengan konselor mungkin menjadi
pertimbangan pokok bagi konseli yang hidup dalam lingkungan masyarakat yang
mengalami ketegangan antar suku, antarlapisa masyarakat, atau antaragama.
Kemampuan intelektual dan kemampuan untuk mengadakan refleksi diri, kiranya
sangat berpengaruh dan menyangkut persyaratan untuk keberhasilan proses
konseling.
2)
Berlakulah
beberapa persyaratan yang menyangkut proses konseling secara langsung.
Pertama,
siswa harus termotivasi kuat untuk mencari penyelesaian atas masalah yang
dihadapi, yang disadari sepenuhnya, dan mau dibicarakan dengan konselor.
Persyaratan ini merupakan prasyarat, dalam arti menentukan keberhasilan atau
kegagalan konseling.
Kedua,
keinsyafan akan tanggung jawab yang dipikul oleh konseli sendiri dalam mencari
penyelesaian terhadap masalahnya dan melaksanakan apa yang diputuskan pada
akhir proses konseling. Persyaratan ini ditimbulkan selama proses konseling
berlangsung.
Ketiga,
keberanian dan kemampuan untuk mengungkapkan pikiran dan perasaannya serta
masalah yang dihadapi. Persyaratan ini berkaitan dengan kemampuan intelektual
dan kemampuan untuk berefleksi atas diri sendiri. Mengingat kenyataan bahwa
dalam semua hal itu terdapat perbedaan diantara konseli yang satu dengan yang
lain, sangat sulitlah menentukan sampai berapa jauh persyaratan ini merupakan
prasyarat. Kebanyakan konseli kiranya dapat ditolong melalui teknik-teknik
lonseling verbal tertentu untuk mengekspresikan diri secara cukup memadai,
sehingga proses konseling dapat berjalan dengan cukup memuaskan pula.
b. Dipihak Konselor
Pendidikan
akademik terutama meliputi persyaratan-persyaratan kognitif, sedangkan tinjauan
tentang kepribadian terutama menyangkut kondisi-kondisi atau
persyaratan-persyaratan nonkognitif.
Menurut
konsepsi Belkin sejumlah kualitas kepribadian dapat ditampung dalam tiga jdul,
yaitu mengenal diri sendiri, memahami orang lain, dan kemampuan berkomunikasi
dengan orang lain. Menyebutkan sejumlah kualitas kepribadian, seperti merasa
aman dengan diri-sendiri, percaya orang lain, dan memiliki keteguhan hati dalam
mengenal diri, keterbukaan hati, kebebasan dari cara berpikir yang kaku,
kepekaan dan empati dalam memahami oarang lain, sejati se`ta tulen, bebas dari
kecenderungan untuk menguasai orang lain, kemampuan mendengarkan dengan baik,
penghargaan terhadap orang lain, kejujuran, kesungguhan, dapat diandalkan,
keterusterangan , dan kemampuan mengungkapkan pikiran serta perasaan dalam
kata-kata dan isyarat-isyarat dalam kemampuan berkomunikasi dengan orang lain.
Menurut
uraian Shertzer dan Stone dalam fundamentals of Counseling (1980), hasil
penelitian di Amerika Serikat menunjukkan bahwa konselor yang efektif dan
konselor yang kurang efektif dapat dibedakan atas dasar tiga dimensi, yaitu
pengalaman, corak hubungan antarpribadi, dan faktor-faktor nonkognitif.
Pengalaman ternyata menjadi variabel penting dalam efektivitas pekerjaan
seorang konselor, sejauh mereka yang telah lama berkecimpungan dalam profesi
ini menunjukkan antar pribadi yang khas untuk suatu helping relationship,
biarpun mereka berpegang pada pandangan teoritis tentang proses konseling yang
berbeda-beda, dan sejauh mereka lebih banyak menunjukkan ketulusan, empati, dan
penerimaan terhadap konseli, dibanding dengan para konselor yang belum
berpengalaman. Corak hubungan antarpribadi yang menekankan empati atau
pemahaman terhadap pikiran dan perasaan yang terungkap oleh konseli, serta
penerimaan terhadap konseli, ternyata sangat esensial dan dapat ditemukan pada
berbagai tipe kepribadian konselor yang efektif. Faktor-faktor nonkognitif meliputi hal-hal
seperti motivasi, nilai-nilai kehidupan (values), perasaan terhadap
orang lain, ketenangan dalam menghadapi situasi wawancara konseling yang
arahnya tidak diketahui sebelumnya (ambiguity), kedewasaan, kemampuan
untuk menjaga jarak dan tidak menjadi terlibat secara emosional, dan kelincahan
dalam pergaulan sosial pada umumnya. Faktor-faktor itu ditemukan dalam gradasi
yang lebih tinggi pada konselor-konselor yang dinilai lebih efektif dalam
pekerjaan dan, karena itu, dapat dikaitkan dengan efektivitas konselor,
meskipun dalam hal ini belum terbukti adanya hubungan sebab-akibat.
Lingkaran
paling dalam menyangkut persyaratan-persyaratan yang paling pokok (core
conditions, facilitating conditions), sedangkan lingkaran diantara yang
paling dalam dan paling luar menyentuh pada persyaratan-persyaratan yang tidak
seberat persyaratan yang pokok.
1)
Keadaan awal,
yaitu keadaan sebelum hubungan antarpribadi secara formal dimulai, telah
diteliti mengenai hal-hal sebagai berikut: jenis kelamin dan umur tertentu,
penampilan yang menarik atau tidak, penggunaan humor, dan kecenderungan untuk
banyak melakukan gerakan motorik atau tidak. Menurut hasil penelitian oleh
Shertzer dan Stone dalam Fundamentals of Counseling, kualitas-kualitas
kepribadian konselor lebih berpengaruh positif dalam proses konseling daripada
jenis kelamin sebagai pria dan wanita, meskipun bagi konseli-konseli tertentu
dengan masalah tertentu jenis kelamin konselor dapat menunjang atau menghambat.
Umur merupakan suatu variabel yang dampaknya lebih tergantung dari sikap
konseli dan dari adanya atau tidak adanya prasangka dipihak konseli, kecuali
kalau konseli menghubungkan umur dengan banyak sedikitnya pengalaman konselor.
Penampilan yang menarik atau tidak menarik sebagian tergantung dari ketampanan
dan kecantikan alamiah dan sebagian lagi pada cara berpakaian dan merawat diri.
Mengenai pengunaan humor tidak tersedia banyak data, tetapi diduga bahwa
konselor yang pada umumnya mampu untuk berkelakar mempunyai sesuatu yang dapat
mendukung dalam wawancara konseling, asal digunakan secara wajar.
Konselor-konselor yang dalam pergaulan sehari-hari banyak menggunakan gerakan
motorik dan berkomunikasi melalui macam-macam isyarat (body languange)
kiranya tidak perlu khawatir, asal gerakan-gerakannya sesuai dengan kata-kata
yang diucapkannya selama berwawancara konseling. Dalam hal ini,kemungkinan
besar bahwa status hidup konselor sebagai biarawan, biarawati, pemuka agama
atau pengantar agama dalam pandangan sejumlah konseli lebih pokok daripada
jenis kelamin mereka, karena konseli cenderung lebih percaya pada orang-orang
yang berstatus demikian. Umur muda, lebih-lebih bila jarak umur antara konselor
dan konseli sekitar 5-8 tahun, kiranya cenderung menempatkan konselor dalam
kondisi yang kurang menguntungkan baginya, karena konseli mudah berprasangka
dia belum dapat mengerti dan masih kurang bijaksana. Penampilan yang menarik
kiranya sangat menguntungkan posisi konselor, karena siswa dan mahasiswa hidup
dalam lingkungan masyarakatyang mudah dinilai berdasarkan kesan-kesan lahiriah.
Lain halnya, kalau konselor terkenal sebagai orang yang suka berkelakar, siswa
dan mahasiswa, yang khawatir bahwa kelakar konselor akan menyindir atau
menyinggung perasaan, kemungkinan besar tidak akan suka untuk berwawancara konseling
dengan dia. Konselor pada umumnya banyak berbicara dengan gerakan-gerakan
jasamani kiranya bersifat netral saja, kecuali gerakan-gerakannya oleh
lingkungannya dinilai tidak wajar atau agak sinting.
2)
Persyaratan-persyaratan
yang belum sampai menyentuh pertemuan antarpribadi selama berwawancara
konseling, meliputi hal-hal sebagai berikut: keyakinan-keyakinan dan
nilai-nilai kehidupan tertentu, pengalaman dilapangan, kemampuan menghadapi
situasi yang belum menentu (ambiguity tolerance), kemudahan dalam berbicara
mengenai diri-sendiri (self-disclosure), konsep diri, dan refleksi atas
diri sendiri (self-exploration). Konselor yang berwatak atau berkarakter
kuat dan baik mau tak mau akan mencerminkan nilai-nilai kehidupan, yang
dianutnya sebagai pedoman hidup, dalam berurusan dengan seorang konseli.
Menurut laporan hasil penelitian dalm buku Shertzer dan Stone, Fundamentals of
Counseling, konseli-konseli yang pada akhir proses konseling mengambil sikap
yang sama atau mirip dengan nilai-nilai hidup dari konselor, megalami perubahan
yang positif dibandingkan dengan para konseli yang tidak demikian. Lain halnya,
kalau konselor berusaha memaksakan nilai-nilai hidupnya sendiri pada konseli;
bertindak demikian oleh para ahli konseling dan konselor-konselor dilapangan
dianggap tidak tepat. Pengalaman dilapangan dan pendidikan formal yang dimiliki
oelh konselor cenderung dipandang oleh konseli sebagai bukti keahliaan dan
wewenangnya, sehingga konseli menghadap konselor dengan rasa kepercayaan diri
yang lebih besar. Kemampuan konselor untuk menghadapi situasi yang belum
menentu dan tidak menjadi terlalu gelisah karenanya, cenderung menunjang
interaksi konselor dengn konseli. Kerelaan dan kemudahan konselor untuk
menyatakan sesuatu tentang pengalaman batinnya sendiri ternyata dapat membantu
konseli dalam membuka pengalaman batinnay sendiri, karena konseli terkesan
dengan keterbukaan konselor dan menangkapnya sebagai keinginan konselor untuk
sungguh-sungguh mengenali pikiran dan perasaan konseli. Tentu saja keterbukaan
tentang kehidupan pribadi konselor tidak boleh mengakibatkan bahwa fokus
perhatian berpindah dari konseli kepada konselor. Konselor yang mengenal diri
sendiri (self-awareness) dan mampu berefleksi atas dir sendiri (self
reflection) oleh banyak pengarang ahli dianggap lebih mampu untuk mendalami
pikiran dan perasaan orang lain dan lebih mudah memandang persoalannya dari
sudut pandangan konseli (internal frame of refernce). Mengenal diri
sendiri dan berefleksi atas diri sendiri membuat konselor lebih peka (sensitif)
terhadap apa yang terdapat dibelakang kata-kata klien, seperti pikiran dan
perasaan yang menyertai kata-kata yang diucapkan. Kepekaan (sensitivity)
ini dapat dikembangkan juga dengan membaca buku-buku roman, melihat film-film,
dan meyaksikan pertunjukan-pertunjukan yang melukiskan kehidupan batin pada
manusia sebagi individu dan sebagai kelompok.
Persyaratan-persyaratan
diatas kiranya berpengaruh dalam konseling profesional dilingkungan kebudayaan
manapun juga. Meskipun, sepengetahuan pengarang buku ini, belum tersedia data
penelitian tentang persyaratan-persyaratan ini dalam konseling diberbagai
lingkungan kebudayaan, yang membenarkan hal ini (cross-cultural studies).
Tentu saja konselor yang bergerak dalam lingkungan kebudayaan tertentu, harus
mengenal ciri-ciri kebudayaan itu dan dampaknya terhadap alam pikiran dan
perasaan konseli dan dirinya-sendiri.
3)
Persyaratan-persyaratan
yang menyentuh langsung pada hubungan dan komunikasi antarpribadi, sebagaimana
berlangsung dalam wawancara konseling, banyak mendapat sorotan.
Persyaratan-persyaratan
itu sebagian bersumber pada kepribadian konselor sendiri dan sebagaian lagi
bertumpu pada sikap-sikap yang diambil konselor selama proses konseling.
Sebagai sikap persyaratan-persyaratan itu dapat dikembangkan melalui pengalaman
pratikum (PPL) dan pengalaman nyata dilapangan selama bertahun-tahun, tetapi
sikap itu akan menjadi kering dan berpura-pura kalau tidak menjadi milik
pribadi konselor atau tumbuh dari sifat-sifat kepribadian yang sudah dimiliki.
Persyaratan-persyaratan
ini oleh pengarang-pengarang ahli diberi nama yang berlain-lainan dan dibahas
menurut sistematika yang berbeda-beda pula. Rogers menekankan penghargaan dan
penerimaan yang tidak bersyarat apapun (unconditional positivee regard)
dan empati atau pengertian terhadap pengalaman, pikiran, dan perasaan klien (empathic
understanding). Truax dan Carkhuff mengemukakan empat komponen yang disebut
kondisi-kondisi yang memperlancar dan memungkinkan proses komunikasi
antarpribadi (facilitating conditions), yaitu pengertian terhadap
konseli yang dikomunikasikan juga kepada konseli (emphatic understanding);
penerimaan, penghargaan, dan perhatian tulen kepada konseli yang tidak membuat
konseli menggantungkan diri pada konselor (respect; nonpossessive warmth);
keikhlasan dan kejujuran, yang berarti konselor tidak berpura-pura atau
bersandiwara (genuineness, congruence); tanggapan-tanggapan verbal yang
menunjuk pada perasaan, pikiran, pengalaman, dan perilaku tertentu pada konseli
(concreteness and specifity). Tyler menyebutkan dua sikap dasar, yaitu
penerimaan (acceptance) dan pengertian atau pemahaman (understanding),
serta satu keterampulan dasar, yaitu kemampuan untuk mengkomunikasikan kepada
konseli apa yang ditangkap konselor mengenai pikiran dan perasaan konseli (communication).
Shertzer dan Stone mengutamakan penerimaan (acceptance) dan pengertian
atau pemahaman (understanding), yang kedua-duanya dapat dipandang
sebagai sikap dasar atau sebagai keterampilan khusus. Penerimaan berarti,
konselor mengakui sepenuhnya perbedaan-perbedaan individual setiap orang dan
menyadari sedalam-dalamnya kompleksitas kehidupan batin dan perilaku seseorang,
tanpa mengadili atau menilai seseorang sebagai pribadi yang kurang patut
dihargai. Pengertian dan pemahaman berarti bahwa konselor berusaha sekuat
tenaga untuk ikut mendalami dan menghayati keseluruhan pengalaman konseling dan
memantulkan pengertian itu kepada konseli secara memadai. Penerimaan dan
pemahaman sebagai sikap dasar harus menghayati dan meresapi kontak pribadi
dengan konseli; sebagai keterampilan khusus kedua hal itu terwujud dalam
teknik-teknik konseling tertentu yang digunakan pada saat-saat tertentu.
C.
Teknik-Teknik Konseling
Konseling
mengandung suatu proses komunikasi antarpribadi yang berlangsung melalui
saluran komunikasi verbal dan nonverbal. Kondisi-kondisi dapat dikomunikasikan
melalui teknik-teknik verbal tertentu, seperti refleksi dan klarifikasi, dan
melalui teknik-teknik nonverbal, seperti sikap badan dan pandangan mata. Namun,
kondisi-kondisi itu (facilitative conditions) harus meresapi semua
teknik-teknik verbal dan nonvrbal yang lain, sehingga dari awal sampai akhir
pembicaraan kondisi-kondisi itu tercipta dan terbina terus-menerus. Maka,
bantuan yang diberikan oleh seorang konselor meliputi baik penciptaan serta
pembinaan kondisi-kondisi dasar (core conditions) maupun struktur serta
organisasi pada pembicaraan, sehingga konseli secara bertahap dapat menemukan
penyelesaian atas masalah yang dihadapinya.
1.
Teknik-Teknik
Konseling yang Verbal
Teknik-teknik
konseling yang verbal adalah tangapan-tanggapan verbal yang diberikan oleh
konselor, yang merupakan perwujudan konkret dari maksud, pikiran, dan perasaan
yang terbentuk dalam batin konselor (tanggapan batin) untuk membantu konseli
pada saat tertentu.
Ungkapan
konselor yang berupa tanggapan verbal dengan maksud membantu konseli dapat
berupa satu atau lebih teknik yang verbal, tergantung dari intensi konselor,
misalnya hanya menunjukkan penerimaan saja (satu teknik) atau menunjukkan
penerimaan dan memantulkan perasaan konseli (dua teknik) atau memantulkan
pikiran dan memberikan informasi serta menanyakan hal tertentu (tiga teknik).
Berikut daftar yang ditampilkan dibawah ini tidak bersifat mutlak dan
barangkali dapat dianggap tidak lengkap pula. Daftar ini disusun mengingat
urutan fase yang umumnya terdapat dalam proses konseling, yaitu: fase
pembukaan, fase konseling mengemukakan masalahnya, fase konselor bersama
konseli menggali latar belakang masalah dan berusaha memperoleh gambaran yang
lengkap serta cukup mendalam, fase memikirkan bersama bentuk penyelesaian
masalah yang paling tepat, dengan membuat pilihan diantara beberapa alternatif
atau meninjau kembali sikap dan pandangan demi penyesuaian diri yang lebih
baik; fase penutup, teknik verbal pada urutan A s/d I mengandung pengarahan
sedikit dan lebih sesuai dengan metode non direktif, sedangkan nomor J s/d U
mengandung pengarahan banyak dan lebih sesuai dengan metode direktif.
Teknik-teknik
konseling yang verval adalah tanggapan-tanggapan verbal yang diberikan oleh
konselor , yang merupakan perwujudan konkret dari maksud, pikiran, dan perasaan
yang terbentuk dalam batin konselor (tanggapan batin) untuk untuk membantu
konseling pada saat tertentu.
Tanggapan
verbal konselor dapat dituangkan dalam bentuk pernyataan atau dalam bentuk
kalimat tanya atau dalam bentuk kombinasi dari pernyataan dan pertanyaan.
Pada
kalimat tanya perlu dibedakan antara bentuk pertanyaan terbuka dengan
pertanyaan tertutup. pada pertanyaan terbuka konselor memberikan kesempatan
kepada konseling untuk menanggapi secara luas. Sedangkan pada pertanyaan
tertutup konselor mengharapkan tanggapan terbatas saja.
Konselor
harus sangat hati-hati dalam memulai suatu kalimat tanya dengan “mengapa atau
kenapa”. Penggunaan kata-kata itu mengandung bahaya karena konseling mendapat
kesan dia dimintai pertanggung jawaban, konselor menyatakan keheranan terhadap
suatu hal yang terjadi, bahkan mungkin konseling akan cenderung membela diri
dari pada jujur dalam mengungkapkannya.
a.
Ajakan untuk
mulai (invitation to talk)
Pada akhir fase
pembukaan konselor mempersilakan konseling untuk mulai menjelaskan masalah yang
ingin dibicarakan.
b.
Penerimaan/menunjukkan
pengertian (acceptance understanding)
Konselor menyatakan
pengertiannya atau penerimaannya terhadap hal yang terungkapkan.
c.
Perumusan
kembali pikiran/gagasan/refleksi pikiran (reflection of content)
Menyangkut komponen
pengalaman dan komponen refleksif dalam pesan konseling disebut pikiran-gagasan
karena subjek menggunakan bentuk-bentuk representasi mental. Apa yang telah
terjadi (komponen refleksif), yang terungkap secara eksplisit oleh konseling,
dirumuskan kembali oleh konselor dalam bentuk:
1)
Menggunakan
kata-kata sendiri (parafrase)
2)
Menggunakan
kata-kata konseling (restatement)
d.
Perumusan kembali
perasaan/refleksi perasaan (reflection of feeling)
Konselor memantulkan
kembali kepada konseling perasaan tentang kejadian atau pengalaman yang telah
diungkapkannya secara verbal maupun secara nonverbal, namun jelas dan
eksplisit.
e.
Penjelasan
pikiran/gagasan/klarifikasi pikiran (clarification of content)
Menyangkut
komponen-komponen refleksif dlam pesan konseli, yang biasanya mencakup suatu
keyakinan, suatu pandangan, suatu pendapat atau suatu evaluasi terhadap
kejadian atau pengalaman. Konselor ingin ingin mengecek apakah penangkapannya
terhadap pesan yang telah diungkapkan oleh konseli dengan kata-kata yang kurang
memadai telah tepat.
f.
Penjelasan
perasaan/klarifikasi perasaan (clarification of feeling)
Menyangkut komponen
afektif dalam pesan konseli. Konselor ingin mengecek penangkapan dengan tepat
terhadap isi dan bobot/kedalaman perasaan secara implisit yang telah
diungkapkan oleh konseli.
g.
Permintaan untuk
melanjutkan (general lead)
Konselor mempersilahkan
konseli untuk memberikan ulasan/penjelasan lebih lanjut mengenai sesuatu yang
telah dikemukakannya, isi ulasan/penjelasan dan arahnya terserah pada konseli.
h.
Pengulangan
satu-dua kata (accent)
Koselor mengulangi satu/dua
kata kunci dalam pernyataan konseli dalam bentuk kalimat tanya, dengan tujuan
supaya konseli memberikan penjelasan lebih lanjut.
i.
Ringkasan/rangkuman
(summary)
Terdapat empat
ringkasan/rangkuman yang mungkin terjadi yaitu:
1)
Pikiran dan
gagasan yang telah dikemukakan oleh konseli sampai sekarang
2)
Sejumlah
perasaan yang telah diungkapkan oleh konseli sampai sekarang
3)
Isi pembijaraan
konseli dan konselor sampai sekarang
4)
Isi pembicaraan
selama wawancara (ringkasan pada akhir wawancara)
j.
Pertanyaan
mengenai hal tertentu (questioning/probing)
Kalimat tanya dapat
berupa pertanyaan terbuka atau pertanyaan tertutup. pada umumnya lebih baik
menggunakan kalimat terbuka. Hal yang ditanyakan dapat mengenai sesuatu yang
perlu diketahui oleh konselor. Pengajuan pertanyaan dapat juga relevan di fase
penggalian latar belakang, fase penyelesaian masalah dan fase penutup.
k.
Pemberian umpan
balik (feedback)
Dalam hal ini konselor
menyampaikan kepada konseli pikiran atau perasaannya sendiri tentang sikap konseli
selama wawancara berlangsung atau mengenai kemajuan yang telah dicapai dalam
proses konseling. Pikiran atau perasaan itu dituangkan dengan jujur dan konkret
sehingga konseli tidak ragu-ragu akan apa yang dimaksud oleh konselor.
l.
Pemberian
informasi (information giving)
Konselor menyampaikan
pengetahuan tentang sesuatu kepada konseli, sesuatu yang sebaiknya diketahui,
namun ternyata belum diketahuinya. Penyampaian ini tidak mengandung unsur
saran.
m.
Penyajian
alternatif (forking response)
Konselor menyampaikan
beberapa alternatif kemudian konseli diminta untuk memilih.
n.
Penyelidikan (investigation)
Konselor mengajak
konseli untuk menyelidiki alterntif-alternatif yang dapat dipilih dan dampaknya
setelah memilih alternatif itu.
o.
Pemberian
struktur (structuring)
Konselor memberikan
petunjuk tentang urutan langkah berpikir atau urutan dalam tahap pembicaraan
yang sebaiknya diikuti, supaya akhirnya sampai pada pemecahan/penyelesaian
masalah.
p.
Interpretasi (interpretation)
Pada teknik interpretasi
konselor menambahkan sesuatu pada hal-hal yang sudah terungkap dan yang belum
disadari oleh konseli (unconscious). Konselor menggali arti dan makna
yang terdapat di belakang kata-kata konseli atau di belakang
tindakan-tindakannya yang telah diceritakan.
q.
Konfrontasi (confrontation)
Konselor mengarahkan
perhatian konseli atas beberapa hal yang menurut pandangan konselor tidak
sesuai satu sama lain. Biasanya konseli belum menyadari ketidakcocokan itu,
maka konselor menyadarkannya dengan maksud supaya konseli menghadapi diri
sendiri secara lebih jujur.
r.
Diagnosis (diagnosis)
Konselor sampai pada
diagnosis tertentu setelah semua data yang tersedia sama dihubungkan satu sama
lain. Sebaiknya konselor minta umpan balik dari konseli, supaya dia terlibat pula
dalam proses pemikiran.
s.
Dukungan/bombongan
(reassurance/support)
Konselor memberikan
semangat dan keyakinan kepada konseli, lebih-lebih pada saat segalanya terasa
sulit. Konselor dapat membesarkan hati, memberikan atau menunjukkan harapan,
supaya konseli tidak kehilangan semangat.
t.
Usul/saran (suggestion/advice)
Ada konseli yang
kadang-kadang membutuhkan hal ini, lebih-lebih bila dia sedang dalam keadaan
bingung. Konselor yang berpengalaman tidak akan ragu-ragu menggunakan teknik
ini, tetapi dia harus sangat bijaksana dalam menentukan terhadap siapa dan
kapan teknik ini sebainya digunakan.
u.
Penolakan (criticism,
negative evaluation)
Konselor menyatakan
pendapatnya berdasarkan pertimbangan objektif, yang bersifat menolak pandangan,
tindakan atau rencana konseli. Teknik ini hanya boleh digunakan jika hubungan
konseli dengan konselor sangat baik, sehingga komentar negatif dari konselor
tidak akan merusak hubungan, bahkan akan membantu konseli untuk menghadapi
dirinya secara realistik.
2.
Teknik-Teknik Konseling yang Nonverbal
a.
Senyuman: untuk
menyatakan sikap menerima, misalnya pada saat menyambut kedatangan konseli.
(sikap dasar)
b.
Cara duduk:
untuk menyatakan sikap rileks dan sikap mau memperhatikan, misalnya membungkuk
ke depan, duduk agak bersandar. Sikap badan jelas-jelas menyampaikan suatu
pesan pada konseli. (sikap dasar)
c.
Anggukan kepala:
untuk menyatakan penerimaan dan menunjukkan pengertian. (sikap dasar). Boleh
juga menyertai kata-kata yang bertujuan membombong. (menguatkan,menunjang)
d.
Gerak-gerik
lengan dan tangan: untuk memperkuat apa yang diungkapkan secara verbal.
Gerak-gerik semacam itu banyak macam variasinya dan mengandung macam-macam
makna. (menguatkan, menunjang)
e.
Berdiam diri:
untuk memberikan kesempatan kepada konseli berbicara secara leluasa, mengatur
pikirannya atau menenangkan diri. (sikap dasar). Bila konseli diam mungkin
konselor ikut diam, namun diamnya konselor tergantung pada lama diamnya
konseli, misalnya konseli merasa:
1)
Sulit
mengungkapkan perasaan
2)
Malu untuk
berbicara atau gelisah
3)
Antipati pada
konselor karena bersikap bermusuhan
4)
Bingung dan
mengharapkan saran atau bombongan dari konselor
5)
Lega sesudah
mengungkapkan semua perasaannya
Kesimpulannya
menggunakan tehnik berdiam diri tidakklah mudah. (sikap dasar)
f.
Mimik (ekspresi
wajah, roman muka, air mata, raut muka): untuk menunjang atau mendukung dan
menyertai reaksi-reaksi verbal. (menunjang)
g.
Kontak mata
(konselor mencari kontak mata dengan konseli): untuk menunjang atau mendukung
tanggapan verbal/menyatakan sikap dasar.
h.
Variasi dalam
nada suara dan kecepatan bicara: untuk menyesuaikan diri dengan ungkapan
perasaan konseli, dengan nada suara lebih tinggi atau lebih rendah. Hal-hal ini
termasuk gejala-gejala vokal. (menunjang)
D.
Tenaga Pengajar dan Konseling
Dibawah
ini disajikan beberapa saran untuk tenaga pengajar yang akan berbicara secara
perseorangan dengan siswa dan mahasiswa, yang menghubungi mereka atas inisiatif
sendiri.
1.
Sikap-sikap
dasar, seperti penerimaan dan pemahaman harus melandasi pelayanannya. Guru dan
dosen harus waspada terhadap kecenderungannya untuk lekas melontarkan kritik
negatif, menjatuhkan hukuman, dan merendahkan.
2.
Tanggapan yang
menyangkut penyelesaian masalah kerap mengandung pengarahan, dalam arti
menunjukkan sikap yang tepat atau tindakan yang serasi, yang dapat membuka
jalan untuk menyelesaikan masalah secara tuntas.
Guru ataupun dosen
sebaiknya mengerti tentang perkembangan anak muda zaman sekarang. Kebutuhan
generasi muda tidak sama dengan keinginan generasi muda, sehingga tenaga
pengajar harus waspada terhadap sekedar mengikuti keinginan siswa dan
mahasiswa. Sebagaimana pedoman bagi pengarahan yang sebaiknya diberikan,
disajikan beberapa petunjuk yang menyangkut hal-hal sebagai berikut:
a)
Pembentukan
watak (karakter): hanya pemikiran yang cukup mendalam, keberanian untuk
memilih, usaha yang serius dan iman kepercayaan yang kuat akan menunjang
pembentukan watak yang kuat dan baik.
b)
Hubungan dengan
orang tua:jika timbul perbedaan pendapat dengan orang tua mengenai masalah kecil
sebaiknya seorang anak menuruti keinginan orang tua, sedangkan jika menyangkut
hal besar sebaiknya orang tua dan anak berdiskusi karena anak juga memiliki hak
untuk mengambil keputusan.
Sedangkan untuk solusi
dari pengajar pengalaman hidup tenaga pengajar sendiri dapat menjadi sumber
untuk menggali kebijaksanaan-kebijaksanaan guna membantu siswa dan mahasiswa
mengatasi permasalahan keluarga.
c)
Pergaulan dengan
lain jenis: dalam bidang ini seringkali timbul permasalahan-permasalahan. Pada
pria muda perlu dipupuk rasa tanggung jawab dan bertindak kesatria, sedangkan
pada wanita muda perlu dikembangkan sikap sabar, kerelaan sedikit sabar
menunggu saat pengambilan keputusan mengikat, dan rasa harga diri tanpa
menggantungkan nasib hidupnya pada pria begitu saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Ucapkan Salam